'Endorse Saham' Ternyata Tak Boleh Dilakukan, Begini Penjelasannya

Pengamat pasar modal Budi Frensidy mengatakan, saham pada dasarnya membutuhkan analisis yang memperhitungkan berbagai faktor.

oleh Dian Tami Kosasih diperbarui 07 Jan 2021, 17:29 WIB
Diterbitkan 07 Jan 2021, 17:25 WIB
FOTO: IHSG Akhir Tahun Ditutup Melemah
Pengunjung melintasi papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (30/12/2020). Pada penutupan akhir tahun, IHSG ditutup melemah 0,95 persen ke level 5.979,07. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Banyak publik figur memamerkan saham yang dimiliki melalui media sosial pribadinya. Hal ini menuai beragam komentar. Berbeda dengan barang, pengamat pasar modal Budi Frensidy menyebut, saham tak layak menjadi barang endorsement.

"Mestinya itu tidak etis dan tidak boleh, karena yang namanya saham itu tidak sama dengan barang di toko, sehingga dengan mudah di-endorse," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (7/1/2021).

Budi juga menyebut, saham pada dasarnya membutuhkan analisis yang memperhitungkan berbagai faktor, seperti kinerja perusahaan, analisis persaingan usaha, analisis industri, analisis ekonomi dan pasar makro-mikro.

"Kenapa tidak boleh, karena harus ada dasarnya, harusnya ada alasannya, apakah analisis fundamental dasarnya, apakah teknikal, apakah proyeksi pertumbuhan ke depan, apakah momentum dan sebagainya," ujar dia.

Selain itu, fenomena ini juga bisa mengakibatkan persaingan tidak sehat karena ajakan membeli saham justru menjadi hal yang merugikan bagi sebagian pihak.

"Iya (tidak sehat), jadi orang membeli saham bukan karena menganalisis tapi karena endorse. Bukan selebritis, ada beberapa yang merekomendasikan, ternya dia sudah beli banyak, kemudian orang beli biar harganya naik lalu dia jual. Itu namanya manipulasi pasar, kalau dulu istilahnya gorengan, sekarang pompom," tutur Budi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Ketahui Dulu Saham yang Dibeli

IHSG Menguat 11 Poin di Awal Tahun 2018
Layar indeks harga saham gabungan menunjukkan data di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (2/1). Angka tersebut naik signifikan dibandingkan tahun 2016 yang hanya mencatat penutupan perdagangan pada level 5.296,711 poin. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Oleh karena itu, Budi berpesan untuk selalu memperhatikan kondisi pasar dan mengetahui dulu saham yang akan dibeli, bukan hanya ikut-ikutan atau sebagai followers.

"Siap-siap yang follow dan ikut-ikut atau orang awam dan tidak mengerti. Mungkin bisa untung, tapi ke depannya, atau siap-siap lebih sering menanggung kerugian, karena kalau sudah endorsement itu harganya sudah enggak wajar," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya