Liputan6.com, Jakarta - Bursa Efek Indonesia (BEI) masih mendiskusikan penerapan multiple voting share (MVS) atau saham dengan hak suara multipel (SHSM). Hal ini juga sebagai salah satu akomodasi untuk penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO) perusahaan rintisan atau startup.
Direktur Penilaian BEI I Gede Nyoman Yetna menjelaskan MVS ini dalam Bahasa Indonesia dipadankan menjadi saham dengan hak suara multipel (SHSM). Saham ini merupakan jenis lainnya dari saham dengan kelas berbeda.
"SHSM ini memiliki hak suara lebih dari satu. Artinya pemegang SHSM ini akan memiliki hak suara lebih tinggi dari porsi kepemilikannya, bergantung rasio voting power setiap struktur SHSM tersebut,” ujar dia kepada awak media, ditulis Jumat (11/6/2021).
Advertisement
Ia menuturkan, SHSM bukan hal baru di bursa efek dan dunia bisnis. Nyoman mencontohkan, Alphabet yang merupakan induk usaha Google yang tercatat di Bursa Nasdaq memiliki tiga kelas saham dengan voting power berbeda pula. Bursa saham Hong Kong juga telah mengatur tentang SHSM yang dikenal sebagai Weighted Voting Right (WVR) yang telah membuat Alibaba mencatatkan saham di Bursa Hong Kong.
Sebelumnya Alibaba melakukan IPO pada 18 September 2014 sebesar USD 21,8 miliar dan tercatat di bursa saham New York. Kemudian melakukan secondary listing di Bursa Hong Kong pada 26 November 2019.
Nyoman menuturkan, salah satu latar belakang penerapan SHSM adalah untuk menjaga pengendalian dari para pendiri yang merupakan kunci utama sebuah perusahaan.
“Dengan tetap menjadi pengendali, walaupun persentase kepemilikan nya kecil, para founders ini tetap memiliki power untuk mewujudkan visi dan misi perusahaan jangka panjang,” tutur dia.
Ia menambahkan, detil pengaturan dan penerapan SHSM ini berbeda dengan lainnya. "Peraturan SHSM di pasar modal Indonesia ini yang saat ini sedang disusun dan dibahas agar nantinya dapat dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan yang memang diperkenankan menerapkan SHSM dalam struktur permodalannya,” kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Revisi Aturan Pencatatan
BEI juga merevisi aturan I-A mengenai pencatatan efek. Melalui aturan yang berlaku saat ini mewajibkan perusahaan tercatat untuk sudah membukukan laba usaha paling tidak dalam satu tahun terakhir untuk dapat tercatat di papan utama.
Nyoman menuturkan, pengaturan tersebut tidak fit dengan karakteristik perusahaan yang terus berkembang. Hal ini tidak terbatas kepada perusahaan teknologi.
"Misalnya perusahaan yang karakteristiknya masih fokus meningkatkan market share dan belum laba, tetapi valuasinya besar dan berpotensi untuk jadi salah satu biggest fund raiser di pasar modal Indonesia,” kata dia.
Dengan kondisi tersebut, BEI terus berupaya menjadi bursa yang adaptif terhadap kebutuhan pemangku kepentingannya, termasuk unicorn di Indonesia. Hal ini agar dapat memanfaatkan pasar modal sebagai sumber pendanaan perusahaan untuk bertumbuh.
Selain itu, BEI juga akan memperkenalkan lima alternatif persyaratan untuk tercatat di papan utama. Hal ini sebagai antisipasi dari IPO perusahaan rintisan unicorn hingga decacorn.
"Melalui peraturan I-A revisi ini nanti bursa akan memperkenalkan lima alternatif persyaratan sebagai pintu untuk tercatat di papan utama dan pengembangan. Dengan demikian, kami berharap peraturan ini lebih akomodatif bagi berbagai jenis industri di tanah air,” ujar dia.
Advertisement