Satgas Waspada Investasi Blokir 62 Entitas Perdagangan Aset Kripto

OJK juga dengan tegas melarang semua lembaga jasa keuangan untuk menggunakan dan memasarkan aset kripto.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 17 Jun 2021, 19:42 WIB
Diterbitkan 17 Jun 2021, 19:41 WIB
Penjelasan OJK Tentang Fintech di Indonesia
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing menjelaskan tentang fintech di Indonesia, Jakarta, Rabu (12/12). Sedangkang P2P ilegal tidak menjadi tanggung jawab pihak manapun. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Satgas Waspada Investasi SWI) telah memblokir 62 entitas perdagangan aset kripto yang terindikasi penipuan. Umumnya, pelaku memberikan iming-iming kepada calon investor atau target penipuan dengan imbal hasil yang besar dari investasi aset kripto.

"Satgas investasi sampai saat ini telah melakukan pemblokiran kegiatan 62 entitas aset kripto ilegal. modusnya beragam, yang pertama mereka menjanjikan keuntungan tetap (fix income),” beber Ketua Tim Satgas Waspada Investasi, Tongam Lumban Tobing dalam diskusi virtual, Kamis (17/6/2021).

"Mereka itu melakukan kegiatan seperti multi level marketing (MLM), dengan skema piramida," ia menambahkan.

Di sisi lain, OJK juga dengan tegas melarang semua lembaga jasa keuangan untuk menggunakan dan memasarkan aset kripto. Tongam menegaskan, aset kripto bukan merupakan produk jasa keuangan, melainkan komoditi yang diawasi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).

Dari sisi harga, komoditas umumnya akan mengalami naik dan turun. Ini berbanding terbalik dengan penawaran pelaku penipuan aset kripto, yang menjanjikan keuntungan tetap yang relatif besar.

"Oleh karena itu, banyak masyarakat yang tergiur untuk masuk. Kecenderungannya pelaku memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat terhadap kripto dengan menciptakan skema ponzi,” ujar Tongam.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Contoh Kasus

Ilustrasi Mata Uang Kripto, Mata Uang Digital. Kredit: WorldSpectrum from Pixabay
Ilustrasi Mata Uang Kripto, Mata Uang Digital. Kredit: WorldSpectrum from Pixabay

Sebagai contoh, Tongam menyebutkan EDCCash yang menjanjikan fix income sebesar 0,5 persen per hari atau 15 persen per bulan. Memang, aset kriptonya ada, tetapi Tongam menjelaskan aset tersebut tidak ada peminatnya. Sehingga tidak ada transaksi yang terbentuk dari aset tersebut, apalagi keuntungan.

"Memang aset kriptonya ada, tapi tidak laku dijual. Tidak ada demandnya, dan tidak ada artinya jadinya. Nah ini merupakan tindakan penipuan," ujar dia.

Contoh lainnya, yakni Lucky Best Coin (LBC) yang sempat geger di Nusa Tenggara Barat (NTB). Masyarakat ditawari koin dengan penghasilan 300 persen per tahun atau 25 persen per bulan. Mirisnya, kata Tongan, yang menjadi incaran entitas ini adalah petani.

Tongam mengakui, aset kripto opini bak pisau bermata dua. Dari sisi finansial, ia menilai orang cenderung berekspektasi mengenai imbal hasil yang tinggi dari investasi di aset kripto. Namun, di sisi lain, masyarakat yang tidak paham aset kripto jadi sasaran dari pelaku penipuan.

"Di satu sisi kita meregulasi secara aktif perdagangan aset kripto, di sisi lain juga yang tidak kalah penting mengedukasi mas agar tak terjebak pemasaran yang menggiurkan,” pungkas Tongam.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya