Membedah Penyebab Lesunya Saham BRIS

Pengamat pasar modal Teguh Hidayat prediksi saham BRIS yang sempat tertekan lantaran

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 14 Jan 2022, 04:02 WIB
Diterbitkan 14 Jan 2022, 04:02 WIB
Pasar saham Indonesia naik 23,09 poin
Pekerja mengamati pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di salah satu perusahaan Sekuritas di Jakarta, Rabu (14/11). Pasar saham Indonesia naik 23,09 poin atau 0,39% ke 5.858,29. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kinerja saham PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) terpantau melemah. Pada perdagangan Kamis, 13 Januari 2022, saham BRIS ditutup susut 5 poin atau 0,3 persen kel vele 1.615.

Pada perdagangan sebelumnya, saham BRIS bahkan sempat sentuh auto reject bawah (ARB), merosot 120 poin atau 6,89 persen ke level 1.620. Sepanjang. 2022, saham BRIS telah anjlok 165 poin atau 9,27 persen.

Pengamat pasar modal Teguh Hidayat menilai, amblasnya harga saham BRIS ini sejalan dengan kinerja perseroan yang belum tumbuh signifikan pada 2022.

Saham BRIS memang sempat naik daun pada 2021. Hal itu menyusul bergabungnya (merger) tiga bank syariah BUMN, yakni BRI Syariah, Mandiri Syariah dan BNI syariah dalam satu entitas yang kini bernama Bank Syariah Indonesia atau BSI. BSI lantas digadang-gadang jadi bank syariah terbesar di Indonesia yang siap berjajar dengan bank syariah global.

“BRIS bisa naik setinggi itu lebih karena harapan saja. Tapi kenyataannya dalam setahun ini kinerja BRIS masih biasa-biasa saja, belum jadi besar seperti yang diharapkan,” kata Teguh kepada Liputan6.com, Kamis (13/1/2022).

Merujuk prospektus merger Bank Syariah Indonesia, berdasarkan Laporan Penilaian KJPP Suwendho, Rinaldy dan Rekan No. 00435/2.0059-02/BS/07/0242/1/XII/2020, nilai valuasi BRIS adalah Rp 7,59 triliun.

Pada 30 Juni 2020, jumlah lembar saham BRIS yang beredar adalah 9.716.113.498 lembar saham. Dengan demikian, jumlah valuasi per lembar saham BRIS adalah Rp 781,29.

Namun, saham BRIS terus mengalami kenaikan sepanjang tahun lalu, bersamaan dengan momentum kenaikan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang menguat ke level 6.400 pada Januari 2021.

Sebagai informasi, BRIS sempat sentuh posisi terendahnya di level Rp 189 pers saham pada Mei 2020. Kemudian BRIS perlahan naik, seiring dengan rencana merger tiga bank syariah BUMN.

"Jadi BRIS naik sampai hampir 4.000 ketika itu. Dan waktu itu hype banget investor sangat optimis karena BRIS diharapkan bisa jadi bank besar, dan BRIS satu-satunya yang syariah. Jadi dia diharapkan bisa sama besarnya dengan bank (konvensional BUMN),” kata Teguh.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

BRIS Bakal Bertumbuh

FOTO: Pelayanan Bank Syariah Indonesia Usai Diresmikan Jokowi
Aktivitas pekerja di kantor cabang Bank Syariah Indonesia, Jakarta Selasa (2/2/2021). PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) resmi beroperasi dengan nama baru mulai 1 Februari 2021. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Namun sayang, BRIS ternyata tidak sebesar itu. Sebagai perbandingan, total aset Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah dan BNI Syariah yang merger menjadi Bank Syariah Indonesia baru sebesar Rp 240 triliun sampai akhir Desember 2020.

Angka itu jauh lebih kecil dibandingkan aset BNI (Bank BUMN dengan aset paling kecil) yang mampu membukukan aset senilai Rp 891,337 triliun pada tahun yang sama.

Meski begitu, Teguh percaya BRIS mampu tumbuh besar, tetapi tidak dalam waktu dekat. Hal itu mengingat penggabungan tiga entitas tentu akan memunculkan sejumlah persoalan, utamanya masalah teknis. Sehingga butuh setidaknya satu tahun lagi agar kinerja BRIS setidaknya stabil.

"Untuk saat ini dan sampai setahun ke depan saya pikir kita masih belum bisa berharap bahwa perusahaan labanya akan naik atau bagaimana, enggak. Karena masih harus menyelesaikan masalah teknis,. Dan sahamnya, meskipun sudah turun, tapi secara valuasi belum cukup menarik. Mungkin masih akan turun lagi,” kata Teguh.

Teguh menjelaskan, saat ini saham BRIS secara psikologis telah berada di bawah level 2.000. Sehingga level psikologis berikutnya sekitar 1.500 atau 1.000an.

Untuk investasi jangka panjang, harga tersebut dinilai belum menarik lantaran belum cukup mencerminkan valuasi nilai perusahan yang sebenarnya.

"Jadi enggak akan langsung turun sampai ke 700 dalam satu waktu. Enggak. Harus ada kejadian luar biasa dulu,”

“Untuk investasi, kalau tujuannya memanfaatkan momentum, kalau sudah turun pada level tertentu 1.500 atau 1.000, biasanya ada naiknya. Tapi kalau memang tujuannya jangka panjang belum disarankan untuk saat ini. Belum cukup mencerminkan valuasi nilai perusahan yang sebenarnya,” Teguh menambahkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya