Konflik Ukraina dan Rusia Memanas, Bagaimana Dampaknya terhadap Pasokan Gandum ke Indonesia?

Ukraina menjadi salah satu negara yang memasok gandum ke Indonesia. Lalu bagaimana dampak konflik yang terjadi ke Indonesia?

oleh Agustina Melani diperbarui 26 Feb 2022, 13:08 WIB
Diterbitkan 26 Feb 2022, 13:08 WIB
Tepung Terigu
Ilustrasi Tepung Terigu. (Foto: Oldmermaid from Pixabay )

Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan pengimpor gandum di Indonesia mencari alternatif pasokan impor gandum selain Ukraina imbas konflik dengan Rusia yang memanas.

Berdasarkan data Badan Pusat Statisik (BPS), impor biji gandum dan meslin dari Ukraina lebih tinggi dibandingkan negara lain. Impor biji gandum dan meslin dari Ukraina tercatat 2,96 juta ton pada 2020. Diikuti dari Argentina sebesar 2,63 juta ton dan Kanada 2,33 juta ton. Kemudian dari Amerika Serikat sebesar 1,27 juta ton.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Fransiscus Welirang menuturkan, konflik Rusia dan Ukraina belum terdampak terhadap pasokan gandum. Hal ini seiring masa panen dari Ukraina biasanya terjadi pada Agustus.

"Tidak ada dampak dari Ukraina. Panen pada Agustus jadi pengapalan dari Ukraina pada Februari, Maret, April, Juni itu tidak ada," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (26/2/2022).

Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk ini menuturkan, produsen tepung terigu juga mencari alternatif pasokan gandum selain Ukraina. Ia menuturkan, pasokan gandum dari India bahkan sudah masuk ke Indonesia.  "(Ada dari-red) India, Pakistan, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Brazil, Argentina,” ujar dia.

Oleh karena itu, Fransiscus mengatakan, efek konflik Rusia-Ukraina belum terlalu berdampak seiring industri juga sudah melihat cukup kebutuhan ke depan. "Belum dengar dari anggota kami mengeluh,” kata dia.

Adapun terkait dampak terhadap kenaikan harga, ia menuturkan, kenaikan harga produk sudah terjadi sejak tahun lalu sekitar 30 persen. Hal ini seiring kenaikan harga komoditas. "Harga dari tahun lalu sudah naik," ujar dia.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Begini Dampak Perang Rusia-Ukraina bagi Ekonomi Indonesia

Target Pertumbuhan Ekonomi
Suasana gedung-gedung bertingkat yang diselimuti asap polusi di Jakarta, Selasa (30/7/2019). Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama dengan pemerintah menyetujui target pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran angka 5,2% pada 2019 atau melesat dari target awal 5,3%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, publik internasional dikejutkan dengan pengumuman Rusia tentang aksi militernya di Ukraina. Langkah Rusia tersebut langsung menuai sanksi ekonomi dari Amerika Serikat. 

Namun bagaimana dampak ekonomi perang Rusia Ukraina bagi Indonesia?

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa dampak ekonomi Indonesia dari ketegangan Rusia-Ukraina akan paling terasa di sektor keuangan.

Hal ini terlihat dari kondisi Rupiah yang sudah melemah dan bergerak di Rp. 14.500, dan bisa terus bergerak mendekati level Rp.15.000.

"Dalam kondisi konflik, jika eskalasinya semakin meluas dan melibatkan banyak negara, ini bisa berdampak pada stabilitas di kawasan, dan tentunya ini akan merugikan prospek pemulihan, stabilitas moneter yang ada di Indonesia, karena bertepatan dengan tapering off dan kenaikan suku bunga yang terjadi di negara-negara maju," kata Bhima Yudhistira kepada Liputan6.com, Jumat, 25 Februari 2022.

Harga komoditas, juga menjadi efek ekonomi yang bisa dihadapi Indonesia.

"Dengan minyak mentah yang sudah tembus USD 100 per barel, akan meningkatkan inflasi dan membuat biaya pengiriman (logistik) menjadi jauh lebih mahal. Efeknya adalah harga kebutuhan pokok semakin meningkat, daya beli masyarakat semakin rendah, dan efek terhadap subsidi energi juga akan membengkak cukup singnifikan," papar Bhima.

"Karena pada asumsi makro APBN, harga minyak hanya tercatat USD 63 per barel, jadi ini berbanding jauh antara minyak yang ditetapkan dalam APBN, maupun harga minyak mentah yang sudah ada dilapangan. Maka imbasnya pasti ada pembengkakan dari subsidi energi yang signifikan," lanjut dia.

Dengan demikian, Bhima menyarankan, Pemerintah baiknya segera melakukan APBN perubahan untuk menyesuaikan kembali beberapa indikator khususnya nilai tukar rupiah, juga inflasi.

"Karena inflasinya bisa lebih tinggi dari perkiraan, dan perlu dilakukan antisipasi seperti tambahan dana PEN, yang sebagian mencakup stabilitas harga pangan dan harga energi. Karena ini serius sekali pada stabilitas dan pemulihan ekonomi sepanjang 2022," imbuhnya.

"Jadi ketika Pemerintah ingin menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, maka harus dipastikan stabilitas harga kebutuhan pokok masyarakat baik minyak goreng, kedelai, maupun komoditas lainnya, juga BBM (Pertamax-Pertalite), agar terjaga hingga akhir tahun," bebernya.

 

Peluang Indonesia

FOTO: IMF Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Suasana gedung perkantoran di Jakarta, Sabtu (17/10/2020). International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 menjadi minus 1,5 persen pada Oktober, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya pada Juni sebesar minus 0,3 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Di sisi lain, Bhima juga melihat ada dua dampak positif lain dari invasi Rusia di Ukraina yang bisa Indonesia pertimbangkan sebagai peluang, tentunya dalam jangka waktu dekat.

"Pertama, Pemerintah harus bisa melakukan intervensi dengan mengajak negara-negara yang sedang dalam konflik, khususnya Rusia dan Amerika Serikat untuk duduk bersama dalam forum G-20, membahas resolusi konflik," kata Bhima.

Menurutnya, Indonesia bisa menjadi penengah karena tidak memiliki kepentingan langsung terhadap konflik yang ada di Ukraina.

"Kalau itu bisa dilakukan, sebagai Presidensi G-20 Indonesia juga akan dianggap sukses," ujar dia.

Peluang lainnya, adalah menarik potensi investasi dari negara-negara yang konflik ke Indonesia.

"Seperti relokasi pabrik besi dan baja, kemudian beberapa pabrik elektronik maupun otomotif, sparepart otomotif, agar dilakukan pendekatan kepada produsen yang memiliki basis produksi di Rusia maupun Ukraina untuk segera beralih ke Indonesia, dan disiapkan insentif khususnya," ungkap Bhima.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya