Liputan6.com, Jakarta - Presiden Terpilih Prabowo Subianto pasang target pertumbuhan ekonomi 8 persen dalam kurun waktu dua sampai tiga tahun ke depan. Bahkan, Prabowo bertekad melampaui angka tersebut. Namun melihat kondisi ekonomi Indonesia saat ini, banyak pihak menilai target ambisius itu tak realistis.
Analis beranggapan, target pertumbuhan ekonomi 8% sulit dicapai dalam waktu singkat. Untuk jangka pendek dan menengah, Chief Economist & Head of Research Mirae Asset, Rully Arya Wisnubroto menjelaskan target pertumbuhan ekonomi 6% masih cukup realistis.
Baca Juga
"Untuk target ekonomi 8% kayaknya masih cukup sulit tercapai dalam 5 tahun ke depan. Saya rasa untuk antara 5,5-6% itu sudah cukup baik pada 2025 dan 2026. Dalam jangka pendek dan jangka menengah, 6% sudah cukup baik," kata Rully kepada wartawan, Kamis (17/10/2024).
Advertisement
Kendati begitu, nama-nama calon menteri terpilih sudah mengerucut sejak Prabowo Subianto memanggil sejumlah tokoh ke Kartanegara beberapa waktu lalu. Salah satu yang menjadi perhatian investor adalah calon Menteri Keuangan (Menkeu), yang kemungkinan besar akan kembali dijabat oleh Sri Mulyani.
"Kalau dari sisi menteri-menteri di sektor ekonomi itu memang dipilih yang sesuai dengan ekspektasi pasar. Kenapa? Karena selama ini bersih, transparan dan jelas uangnya didapat dari mana, dipakai buat apa. Ini yang memberi confidence dari investor, terutama di investor yang beli SBN, obligasi pemerintah," imbuh Rully.
Namun, kembali pada realita, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai target pertumbuhan ekonomi 8 persen terlalu ambisius melihat beberapa faktor yang mempengaruhi perekonomian 5 tahun mendatang.
Â
Tergantung pada Komoditas
Pertama, secara struktur ekonomi Indonesia terlalu bergantung pada komoditas olahan primer. Sementara permintaan dari negara mitra dagang kan sedang turun, jadi harga CPO, nikel, batu bara masih rendah untuk jangka menengah.
Kedua, kelas menengah sedang menahan belanja sehingga mempengaruhi dorongan konsumsi domestik. Padahal konsumsi rumah tangga porsinya lebih dari setengah PDB. Ketiga, ruang fiskal yang terbatas sehingga kemampuan APBN dalam stimulus perekonomian jadi lebih kecil porsinya.
"Memang ada MBG, dan program quick win, tapi efeknya tetap tidak besar ketika banyak program lain yang dipangkas," jelas Bhima.
Di sisi lain, mengejar pertumbuhan 8 persen lewat hilirisasi dan bioenergi menimbulkan beberapa dampak negatif. Luasan lahan yang dibutuhkan untuk ekspansi tambang mineral kritis termasuk nikel, bauksit cukup besar.
Menurut Bhima, jika hutan berkurang karena hilirisasi, maka akan menurunkan potensi ekonomi lain seperti agroforestri, dan perkebunan berkelanjutan. Sementara bioenergi juga menciptakan risiko ekspansi lahan untuk penanaman tebu di Papua. Hal tersebut juga akan menurunkan daya saing Indonesia di dalam pendanaan iklim.
"Model pertumbuhan ekonomi harus diubah dari mengejar 8 persen menjadi ekonomi yang berkualitas, ketimpangannya turun, kemiskinan juga bisa lebih rendah, dan kebahagiaannya tinggi," tukas Bhima.
Advertisement
PR Menteri Keuangan di Kabinet Prabowo
Dalam kesempatan berbeda, Bhima mengungkapkan salah satu PR besar yang akan menjadi tugas menteri di pemerintahan Prabowo adalah pembayaran utang negara yang sudah jatuh tempo, dan bunga utang tanpa mengganggu likuiditas domestik.
"Jumlah utang jatuh tempo dan bunga utang nya kan bisa Rp.1.350 triliun, kalau di tutup lewat penerbitan utang baru dan fokusnya ke pembeli domestik maka bisa buat kontraksi sektor riil. Jadi perlu cara yang kreatif," kata Bhima.
Bhima berharap, menteri keuangan di kabinet Prabowo untuk mempertimbangkan tidak membebankan pajak baru maupun kenaikan tarif pajak dan pungutan kepada kelas menengah. Termasuk menunda kenaikan tarif PPN 12%. Menurut dia, kelas menengah saat ini sudah cukup tertekan, sehingga tambahan tarif pajak akan melemahkan konsumsi domestik.
Menteri keuangan periode baru juga diharapkan bisa mempercepat pendanaan transisi energi dengan kerjasama negara maju yang efektif maupun sumber Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dari pengalihan subsidi energi.
Â
Â
PR Lainnya
Adapun PR lainnya yaitu memastikan APBN dapat dimanfaatkan tanpa melakukan pengeluaran yang tak mendesak. Bhima mengingatkan, persiapan belanja pegawai dan belanja barang akan menjadi hal yang mendesak jika jumlah Kementerian/Lembaga akan bertambah di pemerintahan Prabowo.
"Menkeu perlu ketegasan untuk rem belanja yang dianggap pemborosan dan tidak urgen. Jumlah kementerian lembaga kan bertambah signifikan di era Prabowo, jangan sampai APBN bocor untuk belanja yang sifatnya birokrasi dan seremonial di setiap K/L. Artinya akan ada APBN Perubahan dalam waktu dekat," jelas Bhima.
Bhima menambahkan, jika defisit mau dijaga dibawah 3% maka tantangan ada pada relokasi anggaran. "Beberapa proyek infrastruktur akan digeser untuk mempersiapkan tambahan belanja birokrasi," bebernya.
Â
Advertisement