IHSG Tertekan Imbas Net Sell Besar-besaran oleh Asing, Peluang atau Ancaman?

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali mengalami tekanan signifikan pada perdagangan Kamis (27/2)

oleh Pipit Ika Ramadhani Diperbarui 28 Feb 2025, 14:24 WIB
Diterbitkan 28 Feb 2025, 14:24 WIB
IHSG
Pekerja beraktivitas di BEI, Jakarta, Selasa (4/4). Sebelumnya, Indeks harga saham gabungan (IHSG) menembus level 5.600 pada penutupan perdagangan pertama bulan ini, Senin (3/4/2017). (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali mengalami tekanan signifikan pada perdagangan Kamis (27/2), melemah 120,72 poin atau 1,83% ke level 6.485. Sejak awal sesi, IHSG sudah menunjukkan tekanan, sempat menyentuh level tertinggi 6.626 sebelum akhirnya jatuh ke titik terendah di 6.443.

Tekanan jual masih didominasi oleh investor asing yang mencatatkan net sell hingga Rp 1,78 triliun. Saham-saham kapitalisasi besar (big caps) menjadi target utama aksi jual ini, dengan Bank Rakyat Indonesia (BBRI) mencatatkan net sell sebesar Rp 593 miliar, diikuti oleh Bank Central Asia (BBCA) Rp 526 miliar, Bank Mandiri (BMRI) Rp 452 miliar, dan Bank Syariah Indonesia (BRIS) Rp 78 miliar.

Salah satu faktor utama yang memicu tekanan IHSG adalah keputusan Morgan Stanley yang menurunkan peringkat MSCI Indonesia dari equal weight menjadi underweight. Menurut Ahli Strategi Morgan Stanley, Jonathan Garner, pelemahan return on equity (ROE) dan stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi alasan utama di balik keputusan ini.

Garner menilai bahwa investasi terhadap PDB Indonesia cenderung bergerak sideways sepanjang 2025, yang berpotensi menghambat penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan pendapatan masyarakat. Akibatnya, investor global lebih memilih untuk mengalihkan dana mereka ke negara-negara ASEAN lain yang dianggap lebih prospektif.

Ketidakpastian Domestik dan Tekanan Global

Selain faktor eksternal, Pengamat Pasar Modal sekaligus Founder Stocknow.id, Hendra Wardhana mengatakan ketidakpastian terkait Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) juga membebani IHSG. BPI Danantara yang diharapkan menjadi “Temasek-nya Indonesia” masih menghadapi banyak pertanyaan terkait efektivitas dan transparansinya.

“Keraguan ini terlihat dari tekanan besar pada saham-saham perbankan, seperti BMRI yang turun 5,28%, BBRI melemah 2,85%, dan BRIS anjlok 8,36%,” kata Hendra, Jumat (28/2/2025).

Dari sisi global, kebijakan proteksionisme AS turut memberikan tekanan tambahan. Presiden AS, Donald Trump, baru saja mengumumkan penundaan penerapan tarif impor dari Kanada dan Meksiko hingga 2 April.

Namun, pasar tetap waspada terhadap potensi kebijakan tarif lainnya, termasuk rencana penerapan tarif 25% terhadap impor dari Uni Eropa.

Ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan Asia Timur juga semakin memperburuk ketidakpastian di pasar keuangan global.

 

Promosi 1

Koreksi Ini Bisa Jadi Peluang

Perdagangan Awal Pekan IHSG Ditutup di Zona Merah
Pekerja tengah melintas di layar pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (18/11/2019). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup pada zona merah pada perdagangan saham awal pekan ini IHSG ditutup melemah 5,72 poin atau 0,09 persen ke posisi 6.122,62. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Meskipun aksi jual asing masih mendominasi, kondisi ini juga membuka peluang bagi investor lokal yang jeli dalam mencari saham berfundamental kuat dengan valuasi menarik. Hendra menilai bahwa aksi jual asing yang besar justru bisa menjadi peluang bagi investor domestik.

“Investor asing memang sedang melakukan rebalancing portofolio, terutama setelah Morgan Stanley menurunkan peringkat MSCI Indonesia. Namun, ini tidak selalu berarti kondisi pasar kita memburuk secara fundamental. Justru bagi investor lokal, koreksi seperti ini bisa menjadi kesempatan untuk masuk ke saham-saham yang sedang undervalued,” ujar Hendra.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa sektor perbankan, meskipun saat ini tertekan, masih memiliki prospek jangka panjang yang kuat. “Selama likuiditas tetap terjaga dan pertumbuhan kredit masih positif, sektor perbankan tetap menarik. Ini lebih ke sentimen jangka pendek,” katanya.

Selain itu, sektor tambang, terutama emas dan nikel, bisa menjadi pilihan defensif di tengah ketidakpastian pasar. “Harga emas dan nikel yang cenderung stabil bisa menjadi katalis positif bagi saham-saham tambang seperti ANTM dan MDKA,” tambahnya.

Dari sisi teknikal, IHSG saat ini berada dalam tren turun dengan kecenderungan menguji level support psikologis di 6.400. Jika level ini tidak mampu bertahan, tekanan jual bisa semakin besar. Namun, jika muncul sentimen positif, rebound teknikal masih berpotensi terjadi dengan resistance di 6.600.

 

Waspada, tapi Jangan Panik

IHSG
Pekerja berbincang di dekat layar indeks saham gabungan di BEI, Jakarta, Selasa (4/4). Pada pemukaan indeks harga saham gabungan (IHSG) hari ini naik tipis 0,09% atau 4,88 poin ke level 5.611,66. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Secara keseluruhan, meskipun IHSG tengah menghadapi tekanan besar akibat aksi jual asing, ketidakpastian global, dan faktor domestik, peluang tetap ada bagi investor yang mampu melihat momentum.

“Dalam kondisi volatilitas seperti ini, strategi terbaik adalah tetap selektif dalam memilih saham, menghindari kepanikan, dan fokus pada saham dengan prospek jangka panjang yang kuat,” tutup Hendra.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya