Masih ingat film Habibie & Ainun garapan Faozan Rizal yang tahun lalu sukses menuai raihan jumlah penonton terbanyak, namun juga terbukti baik secara kualitas? Kombinasi ini langka sekali terjadi pada film-film Indonesia pada umumnya.
Nah, banyak sekali film Indonesia kontemporer yang berhasil menduduki tangga box office, namun jeblok secara kualitas. Adapun beberapa film Indonesia yang baik secara kualitas, hanya saja ternyata hal ini tak menjamin film tersebut meraih sukses di tangga box office.
What They Don`t Talk About When They Talk About Love, misalnya. Boleh jadi film dengan arti harfiah `Apa yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta` atau `Tidak Bicara Cinta` termasuk beberapa film Indonesia terbaik yang mungkin Anda lewatkan sepanjang tahun ini.
Film kedua dari Mouly Surya bertajuk What They Don`t Talk About When They Talk About Love ini mampu memunculkan pembacaan yang mendalam, film ini jadi tak sekadar sebagai pemuas eskapisme belaka yang membawa banyak orang lari sejenak dari kenyataan.
Film ini memang meninggalkan banyak ruang untuk dibaca ulang. Mouly tak hanya membawa banyak orang masuk ke dunia fiksi rekaan terbarunya, ia pun mengajak para penonton untuk lebih dekat lagi mengalami kenyataan lewat pendekatannya yang tak biasa.
Kenyataan yang tak biasa itu ditemui di sebuah SLB (Sekolah Luar Biasa) bersama dengan beberapa penghuninya. Diana (Karina Salim) adalah seorang penderita miopia, ia hanya dapat melihat suatu objek dari jarak yang sangat dekat sekali.
Ia lalu bertemu dengan Andhika (Anggun Priambodo) yang belum lama mengalami kebutaan. Diana dalam satu kesempatan berhasil dengan samar-samar melihat wajah Andhika, dan sejak itu ia mulai `tebar pesona` demi mendapatkan perhatiannya.
Tak seperti Diana, Fitri (Ayushita Nugraha) sudah buta sejak lahir. Ia sama sekali tak memiliki gagasan secara visual, sehingga rentan dimanipulasi serta dimanfaatkan secara seksual oleh pacarnya. Sampai akhirnya ia mengenal Edo (Nicholas Saputra), seorang bisu tuli anak ibu pemilik warung di sekolah yang mengubah hari-harinya. Mereka adalah remaja penuh gejolak yang baru mulai merasakan cinta dan mencoba memahaminya dengan caranya masing-masing.
Begitu banyak aspek yang patut ditelaah dari karya kedua Mouly Surya ini (setelah Fiksi, 2008), terlebih pada keberhasilannya mengemas film ini dalam nuansa sinematis alternatif yang menggemaskan. Film ini, dalam presentasi alternatifnya, tetap terasa komunikatif. Mouly tanpa mengesampingkan gagasan kreatifnya yang agak nyeleneh itu tetap mampu menyampaikan pesan filmnya kepada penonton secara mengesankan.
Para aktor bermain dengan sangat meyakinkan, terlebih bagi Ayushita, ini adalah lompatan yang jauh bagi karier aktingnya. Nicholas Saputra pun tampil beda tanpa kehilangan pesonanya. Karina Salim jelas menjadi idola baru. Siapa coba yang tak jatuh hati padanya?
Film yang diberi label `arthouse` ini, dengan segala capaian sinematis alternatifnya jelas bukanlah karya sembarangan yang dapat diabaikan. Dengan kata lain, salah satu mahakarya terbaik sejauh ini.(Ans)
Nah, banyak sekali film Indonesia kontemporer yang berhasil menduduki tangga box office, namun jeblok secara kualitas. Adapun beberapa film Indonesia yang baik secara kualitas, hanya saja ternyata hal ini tak menjamin film tersebut meraih sukses di tangga box office.
What They Don`t Talk About When They Talk About Love, misalnya. Boleh jadi film dengan arti harfiah `Apa yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta` atau `Tidak Bicara Cinta` termasuk beberapa film Indonesia terbaik yang mungkin Anda lewatkan sepanjang tahun ini.
Film kedua dari Mouly Surya bertajuk What They Don`t Talk About When They Talk About Love ini mampu memunculkan pembacaan yang mendalam, film ini jadi tak sekadar sebagai pemuas eskapisme belaka yang membawa banyak orang lari sejenak dari kenyataan.
Film ini memang meninggalkan banyak ruang untuk dibaca ulang. Mouly tak hanya membawa banyak orang masuk ke dunia fiksi rekaan terbarunya, ia pun mengajak para penonton untuk lebih dekat lagi mengalami kenyataan lewat pendekatannya yang tak biasa.
Kenyataan yang tak biasa itu ditemui di sebuah SLB (Sekolah Luar Biasa) bersama dengan beberapa penghuninya. Diana (Karina Salim) adalah seorang penderita miopia, ia hanya dapat melihat suatu objek dari jarak yang sangat dekat sekali.
Ia lalu bertemu dengan Andhika (Anggun Priambodo) yang belum lama mengalami kebutaan. Diana dalam satu kesempatan berhasil dengan samar-samar melihat wajah Andhika, dan sejak itu ia mulai `tebar pesona` demi mendapatkan perhatiannya.
Tak seperti Diana, Fitri (Ayushita Nugraha) sudah buta sejak lahir. Ia sama sekali tak memiliki gagasan secara visual, sehingga rentan dimanipulasi serta dimanfaatkan secara seksual oleh pacarnya. Sampai akhirnya ia mengenal Edo (Nicholas Saputra), seorang bisu tuli anak ibu pemilik warung di sekolah yang mengubah hari-harinya. Mereka adalah remaja penuh gejolak yang baru mulai merasakan cinta dan mencoba memahaminya dengan caranya masing-masing.
Begitu banyak aspek yang patut ditelaah dari karya kedua Mouly Surya ini (setelah Fiksi, 2008), terlebih pada keberhasilannya mengemas film ini dalam nuansa sinematis alternatif yang menggemaskan. Film ini, dalam presentasi alternatifnya, tetap terasa komunikatif. Mouly tanpa mengesampingkan gagasan kreatifnya yang agak nyeleneh itu tetap mampu menyampaikan pesan filmnya kepada penonton secara mengesankan.
Para aktor bermain dengan sangat meyakinkan, terlebih bagi Ayushita, ini adalah lompatan yang jauh bagi karier aktingnya. Nicholas Saputra pun tampil beda tanpa kehilangan pesonanya. Karina Salim jelas menjadi idola baru. Siapa coba yang tak jatuh hati padanya?
Film yang diberi label `arthouse` ini, dengan segala capaian sinematis alternatifnya jelas bukanlah karya sembarangan yang dapat diabaikan. Dengan kata lain, salah satu mahakarya terbaik sejauh ini.(Ans)