Makam Peneleh, Tempat Peristirahatan Terakhir Pejabat Hindia Belanda di Surabaya

Di Surabaya terdapat pemakaman yang tidak biasa. Bahkan pemakaman ini tak jarang dijadikan lokasi untuk berwisata atau berfoto. Makam tersebut adalah Makam Belanda Peneleh.

oleh Liputan Enam diperbarui 24 Sep 2020, 15:21 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2019, 08:00 WIB
Makam Pemakaman dan Kuburan
Ilustrasi Foto Pemakaman (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Pemakaman biasanya dikaitkan dengan unsur mistis atau horor di mata kebanyakan orang. Hal itu membuat banyak orang akan merasa takut atau seram bila diajak ke "pemakaman". 

Di Surabaya, Jawa Timur terdapat pemakaman yang tidak biasa. Bahkan pemakaman ini tak jarang dijadikan lokasi untuk berwisata atau berfoto. Makam tersebut adalah Makam Belanda Peneleh. 

Melansir informasi dari akun Instagram @lovesuroboyo, De Begraafplaats Soerabaia atau Makam Belanda di Peneleh Surabaya adalah komplek pemakaman era Kolonial Belanda. Lokasi makam ini ada di pusat kota, kurang lebih 100 meter dari tepi Sungai Kalimas.  

Pemakaman ini sudah dibangun sejak Desember 1847. Hal ini membuat Makam Peneleh menjadi makam tertua di Jawa Timur. Makam tersebut adalah tempat peristirahatan terakhir bagi para pejabat Hindia Belanda.

Nama Peneleh sendiri muncul pada zaman Kerajaan Singosari. Peneleh merupakan tempat persemayam pangeran pilihan atau “pinilih” Putra Wisnu Wardhana, yang berpangkat setara dengan bupati. Wisnu Wardhana kemudian diangakat menjadi pemimpin di daerah antara Sungai Pengirian dan Kalimas.

Luas area pemakaman ini sekitar 4,5 hektar. Kurang lebih ada 15 ribu jenazah yang dimakamkan di tempat ini dan mayoritas orang Belanda.

Dengan gayanya yang mengandung unsur Belanda kuno, banyak orang mengunjungi Makam Peneleh untuk berwisata atau berfoto-foto. Untuk mendapat akses ke komplek pemakaman ini, dibutuhkan izin dari DKP Surabaya yang terletak di Jalan Raya Menur. 

(Kezia Priscilla – Mahasiswa UMN)

 

Update:

Pemakaman makam peneleh sejak 1847

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Menelusuri Sejarah di Gedung De Javasche Bank Surabaya

(Foto: Pemkot Surabaya)
De Javasche Bank (Foto:Pemkot Surabaya)

Sebelumnya, mau pergi ke tempat yang murah meriah tapi mengedukasi? Beralamat di Jalan Garuda No.1, Surabaya De Javasche Bank menjadi saksi awal bermulanya perbankan di Indonesia.

Bangunan bank tersebut berdiri sejak 14 September 1929 tapi hingga kini ia masih berdiri dengan tegaknya di Surabaya, Jawa Timur. Berdasarkan penelusuran di humas.surabaya.go.id, yang ditulis Jumat, (12/7/2019),  pada 1 Juli 1953, De Javasche Bank berubah menjadi Bank Indonesia dan resmi menjadi cagar budaya pada 2012. Beberapa orang sempat salah mengira gedung ini adalah kantor dari Bank Indonesia.

De Javasche Bank sebenarnya bukanlah Bank Indonesia, karena satu-satunya museum Bank Indonesia berlokasi di Jakarta. Gedung ini lebih tepat disebut bangunan cagar budaya De Javasche Bank, karena di dalam gedungnya banyak sekali koleksi-koleksi peninggalan bersejarah yang tak ternilai harganya.

Bangunannya bergaya arsitektur neo renaissance yang dilengkapi dengan ukiran khas Jepara di setiap pilar-pilarnya. Gedung ini terbagi atas tiga lantai, lantai pertama yaitu ruang basement untuk menyimpan uang, emas dan dokumen penting lainnya. Lantai kedua untuk kantor dan teller, dan lantai ketiga untuk tempat dokumentasi.

Ada beberapa hal unik yang Anda harus tahu, pintu masuk untuk memasuki cagar budaya ini adalah di ruang bawah tanah (basement). Hal unik lainnya ialah CCTV di sini berbentuk kaca datar yang dipasang di sudut-sudut ruangan, sehingga pihak keamanan bisa dengan mudah untuk memantau keadaan gedung hanya dengan melihat pantulan gambar dari kaca tersebut.

Koleksi di bangunan ini ada berbagai benda yaitu emas batangan 60 ton yang bernilai hampir Rp 6 miliar di dalam brankas bawah tanah. Selain itu, ada juga AC alami yang pada zamannya, serta kaca patri yang belum pernah pecah sampai saat ini.

Kunci sukses kokohnya bangunan peninggalan Belanda ini terletak pada perhitungan bahan yang pas untuk digunakan. Oleh karena itu, janganlah menyia-nyiakan aset yang berharga seperti ini.

Marilah kita lestarikan peninggalan tersebut dengan mengunjunginya. Apalagi masuknya tidak dipungut biaya alias gratis.

(Wiwin Fitriyani, mahasiswi Universitas Tarumanagara)

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya