Menelusuri Kampung Ketandan di Tengah Hutan Beton Surabaya

Di Surabaya terdapat kampung yang diapit oleh segi empat emas. Simak rangkumannya.

oleh Liputan Enam diperbarui 02 Agu 2020, 23:08 WIB
Diterbitkan 05 Feb 2020, 08:00 WIB
(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Kamera CCTV yang dipasang di sejumlah persimpangan jalan di Surabaya, Jawa Timur. (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Jakarta - Surabaya termasuk kota yang terdiri banyak kampung. Kampung-kampung di Surabaya mempunyai keunikan tersendiri dan banyak berkembang menjadi kampung wisata.

Namun, terdapat salah satu kampung yang unik yang termasuk salah satu kampung tertua di Surabaya, yaitu Kampung Ketandan. Kampung ini terletak di Kecamatan Tegalsari, Surabaya, Jawa Timur.

Mengutip dari laman webdisplay.surabaya.go.id, Kampung Ketandan mempunyai keunikan, yaitu letaknya berada di antara gedung pencakar langit.

Kampung Ketandan terletak di antara gedung-gedung sepanjang Jalan Tunjungan sehingga keberadaannya tak terlihat dengan jelas.

Kampung ini diapit oleh Segi Empat Mas-nya Surabaya, yaitu di bagian timur Jalan Tunjungan, di bagian selatan Jalan Embong Malang, di bagian barat Jalan Blauran, dan di bagian utara Jalan Praban.

Kampung Ketandan ini merupakan salah satu kampung tertua yang ada di Surabaya. Di kampung ini terdapat makam kuno, yaitu Makam Mbah Buyut Tondo dan Joglo Cak Markeso. Makam ini ditumbuhi oleh pohon beringin tua yang terletak di sebalah makam Mbah Buyut Tondo. Makam ini disebut buyut karena keberadaanya lama sebelum Kampung Ketandan menjadi sekarang.

Di Kampung Ketandan juga terdapat masjid An-Nur yang bergaya arsitektur jengki khas Surabaya. Pilar-pilar besar menghiasi masjid ini.

Jendela dengan ukuran besar juga menjadi khas dari masjid An-Nur ini. Di atas pintu tertulis keterangan bahwa masjid ini dibangun pada 1915 – 1958. Namun, sebelum menjadi masjid dulunya bangunan tersebut berbentuk langgar.

Pada 2016, Kampung Ketandan diadakan pembangunan ruang publik Joglo Cak Markeso tepat di depan makam Mbah Buyut Tondo. Joglo yang dibangun di kampung ini berdasarkan atas kerja sama dengan United Cities Local Governments Asia Pacific (UCLG ASPAC) dan diresmikan oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.

Tujuan dari dibangunnya ruang publik ini adalah untuk membuat hubungan antarwarga Ketandan Surabaya semakin erat. Kemudian interaksi dan diskusi masyarakatnya mengenai lingkungan dan warisan budaya di Kampung Ketandan.

 

 

(Shafa Tasha Fadhila - Mahasiswa PNJ)

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Cerita Kampung Ketandan Produsen Kue Kering di Surabaya

Sebelumnya, Kampung Ketandan, Surabaya, Kecamatan Tegalsari, Jawa Timur kini dikenal sebagai kampung nastar. Kampung ini sebagai salah satu kategori kampung pahlawan ekonomi binaan pemerintah kota (pemkot) Surabaya.

Dian Arvianti, perintis sekaligus pemilik kue kering. Berawal dari kegigihan menambah ekonomi keluarga dengan membuat kering. Ibu tiga anak ini pun membuka lapangan kerja dan membantu ekonomi bagi 20 ibu rumah tangga di Kampung Ketandan Surabaya.

Para ibu rumah tangga itu membantu memproduksi kue kering. Selain dipasarkan lewat online,  kue ini dipasarkan lewat reseller di Sidoarjo dan Gresik, Jawa Timur.

"Tempat di perkampungan, jadi tenaga kerja lebih mudah. Karena ibu di wilayah sekitar tidak ada pekerjaan, dan tidak perlu aturan-aturan,” ujar dia seperti ditayangkan dalam program Liputan6, ditulis Sabtu, 24 Agustus 2019.

Ia menuturkan, pemasaran kue kering ini memang masih dilakukan di Surabaya, Sidoarjo dan Gresik. Akan tetapi, pihaknya juga mengirim ke luar kota.

Aneka kue kering dikerjakan di dua rumah produksi. Satu rumah untuk pembuatan dan pencampuran adoran. Di rumah lain untuk cetak dan pengemasan kue.

Dalam satu hari pembuatan dengan pekerjakan 20 ibu rumah tangga yang membuat 200-300 toples. Aneka kue kering terdiri dari nastar, kastangel, lidah kucing dan cookies kacang. Salah satu ibu sangat terbantu dengan usaha rumahan ini. Selain itu, kampung ini juga makin dikenal masyarakat.

"Bantu ekonomi suami, dan ibu rumah tangga tidak menganggur," ujar Suci.

Satu toples dengan berat 500 gram dijual dengan harga Rp 20 ribu-Rp 90 ribu tergantung bahan dan jenis. Julukan kampung nastar sendiri sebelumnya diberikan Pemerintah Kota Surabaya berkat produksi UMKM yang dirintis Kampung Ketandan mampu tingkatkan ekonomi ibu-ibu di sekitar wilayah. Kampung ini pun menjadi kampung pahlawan ekonomi.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya