Liputan6.com, Surabaya - Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi) Ikatan Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (IKA FKM Unair), menyebut Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma) berani mengambil langkah risiko, dalam memutus mata rantai penyebaran COVID-19 di Kota Pahlawan.
Langkah risiko Risma yang dimaksud Persakmi IKA FKM Unair adalah berani melakukan tes polymerase chain reaction (PCR) secara masif.
"Tes ini membawa konsekuensi yakni semakin ditemukannya kasus terkonfirmasi atau positif dalam jumlah banyak," ujar Pengurus Pusat Persakmi yang juga Ketua IKA FKM Unair, Estiningtyas Nugraheni SKM MARS, Jumat (5/6/2020).
Advertisement
Baca Juga
Akan tetapi, menuruti Estiningtyas, temuan banyaknya pasien terkonfirmasi positif Corona COVID-19 itu tidak perlu dicemaskan, apalagi secara berlebihan.
"Justru langkah Wali Kota Bu Risma perlu mendapat apresiasi tinggi. Sebab belum tentu semua kepala daerah berani mengambil langkah berisiko itu,” kata Estiningtyas.
"Sebagaimana prinsip dasar penanganan Covid-19, bahwa tes masif adalah pintu masuk penemuan dini kasus baru, perlu diikuti dengan proses tracing dan penanganan perawatan sesuai standar. Dengan kata lain upaya Pemkot Surabaya dalam menangani Covid saat ini adalah on the track," lanjutnya.
Berdasar data yang diamati hingga 3 Juni 2020, kontribusi Surabaya atas kasus konfirmasi positif COVID-19 di Jawa Timur mencapai 53 persen. Sementara bila dibandingkan dengan kasus konfirmasi positif di seluruh Indonesia, Surabaya menyumbang sekitar 10 persen.
Estiningtyas menyebut, angka dan persentase tersebut, mungkin dianggap tidak terlalu baik dalam penanganan COVID-19. Meski sebetulnya bila kasus konfirmasi positif di Surabaya yang mencapai 2.803 orang bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Surabaya sebesar 3,15 juta masih berada di kisaran 0,009.
Ia menuturkan, berbeda dengan daerah yang uji PCR rendah, bila satu kasus positif ditemukan dengan memeriksa sedikit orang. Bisa jadi, sebetulnya masih banyak orang yang terinfeksi tetapi belum diperiksa.
"Tentu hal ini jauh lebih berbahaya dalam penanganan pendemi COVID-19. Di mana aspek tes sebagai pintu masuk penanganan lebih lanjut justru diabaikan. Padahal diketahui penemuan dini kasus baru yang terkonfirmasi bertujuan untuk menghentikan laju penularan," kata Esti.
"Semakin banyak tes yang dilakukan, maka upaya memutus rantai penularan akan semakin terarah. Test yang masif setidaknya dilakukan 1/1000 penduduk. Dengan jumlah penduduk Surabaya sekitar 3,15 juta, maka idealnya tes Covid dilakukan minimal kepada 3.150 warga Surabaya," ungkap Estiningtyas.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Pelaksanaan Uji Tes PCR Masif Perlu Diikuti Tracing
Dosen dan peneliti Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Prof Dr. Sri Sumarmi mengatakan, berdasarkan temuan 2.803 kasus positif, sebanyak 78 persen mendapatkan perawatan.
Sebanyak 19 persen di antaranya telah dinyatakan sembuh. Ia melihat, hal ini merupakan capaian yang cukup baik dari aspek prinsip dasar treatment.
"Adapun kasus yang meninggal dunia yang mencapai 9 persen, Pemkot Surabaya perlu merilis data lebih lanjut karakteristik kasus kematiannya. Apakah ada penyakit penyerta (komorbid) yang juga diderita pasien kasus konfirmasi, rata-rata usia yang meninggal. Hal ini penting untuk menjadi pelajaran dan bahan edukasi bagi masyarakat berbasis bukti,” kata Sumarmi.
Guru besar ilmu kesehatan FKM Unair itu berharap, dengan pelaksanaan tes uji PCR yang masif di Surabaya, pelaksanaan tracing yang ketat dan perawatan yang sesuai standar, Pemkot Surabaya dapat memetakan efektivitas intervensi berdasarkan ukuran informasi angka reproduksi Covid-19 (Rt) per wilayah kecamatan.
"Berdasar ukuran bilangan reproduksi Covid-19 inilah Walikota Bu Risma dan jajaran Gugus Tugas Surabaya dapat menetapkan strategi pencegahan dan penanganan yang lebih tepat,” ujar Sumarmi.
Advertisement