Liputan6.com, Jakarta - Executive Director Sinergi BUMN Institute Achmad Yunus menilai pendirian sejumlah sub holding menjadi bukti Pertamina tidak fokus pada core business, sehingga tidak sejalan dengan mandat pemerintah untuk fokus menjalankan bisnis migas.
Baca Juga
Menurut Yunus, hilangnya fokus Pertamina tersebut membuat berbagai permasalahan, seperti kebakaran kilang yang kerap terjadi belakangan ini.
Advertisement
“Pertamina harus evaluasi, sudah sekian kalinya kilang terbakar. Artinya ada proses keselamatan kerjanya yang tidak pas, ini yang disorot oleh masyarakat,” ujarnya, Senin (13/3/2023).
Pada masa kepemimpinan Nicke Widyawati, setidaknya sudah enam kilang Pertamina terbakar. Terakhir, kebakaran Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara menjadi insiden yang memilukan, ratusan bangunan di sekitar wilayah itu hangus terbakar, puluhan warga meninggal dunia.
Melalui strategi subholding, Pertamina mulai masuk pada bisnis non-migas. Misalnya logistik migas melalui PT Pertamina International Shipping (PIS) dan bisnis panas bumi lewat anak usaha PT Pertamina Geothermal Energy Tbk yang baru-baru ini melantai di lantai Bursa dengan ticker PGEO.
Yunus juga mendeteksi adanya potensi salah pengelolaan di tubuh Pertamina melalui rencana IPO sejumlah anak usaha.
Setelah PGE, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) juga akan segera go public pada tahun ini. Dia menilai, ke depannya Pertamina terancam kehilangan hak kuasa karena aksi pelepasan saham negara pada sejumlah anak usaha tersebut. Yunus khawatir ini akan menjadi ancaman baru bagi Pertamina masuk pada lobang hitam kebangkrutan di tengah buruknya sistem manajemen perseroan.
Ancaman Kebangkrutan
Melihat kondisi Pertamina hari ini, Yunus khawatir potensi kebangkrutan akan kembali mengancam perusahaan pelat merah tersebut, seperti era 60-an hingga 70-an.
Saat itu, Pertamina berlenggang kangkung tanpa sepengetahuan pemerintah dan DPR. Kebijakan yang dijalankan juga tak sejalan dengan kerangka pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Beberapa unit usaha yang disebut-sebut menjadi penopang bisnis perseroan, malah menjadi sumber kebocoran. Bahkan ada dugaan terjadi penggelapan dana, di mana sejumlah biaya proyek tak dapat dihitung atau diaduit.
Advertisement