Dosen Senior: Robot Seks Tak Perlu Dilarang

Sebelumnya pakar etika robot berpendapat, robot seks sangat merugikan. Kini, dosen senior komputasi menganggap robot seks tak perlu dilarang

oleh M Hidayat diperbarui 18 Sep 2015, 13:18 WIB
Diterbitkan 18 Sep 2015, 13:18 WIB
Roxxxy
Demo Robot Seks Roxxxy (Express)

Liputan6.com, Jakarta - "Larang robot seks!". Demikian headline portal-portal berita teknologi terkemuka dunia, yang seolah-olah sedang menggembar-gemborkan kedatangan ancaman kecerdasan buatan terbaru untuk umat manusia, setelah sebelumnya robot pembunuh otonomos dibuat.

Kampanye yang dipimpin oleh akademisi Kathleen Richardson dan Erik Billing ini berpendapat bahwa pengembangan robot seks harus dihentikan karena antara lain memperkuat atau mereproduksi ketidaksetaraan yang telah ada.

Memang, masyarakat memiliki cukup masalah dengan stereotip gender, seksisme yang mengakar, dan objektifikasi seksual. Tapi perlawanan sebenarnya untuk mengembangkan robot seks mengarah untuk sebuah larangan langsung? Hal ini tampaknya bias, bahkan --pengampunan pun-- tidak diinginkan.

Penelitian seks dan robot yang sudah ada umumnya berfokus pada eksplorasi dangkal mengenai kasih sayang manusia, yang dipopulerkan oleh film seperti Her and Ex Machina.

Adapun terobosan yang dikerjakan akademisi David Levy, yang digarap pada penelitian awal terhadap teledildonics --mainan seks siber yang berfungsi melalui internet-- menjelaskan kemungkinan meningkatnya masyarakat yang akan menyambut robot seks. Bagi Levy, pekerja seks merupakan model yang dapat dicerminkan dalam hubungan manusia-robot.

Mengukir sebuah gagasan baru

Mengukir sebuah gagasan baru

Richardson tidak menikmati kemungkinan ini dan saya setuju dengan rasa was-wasnya; ini adalah gagasan yang harus ditantang, seperti yang ia nyatakan dalam makalah barunya, "Sebuah diskusi tentang etika gender dan seks dalam robotika".

Diskusi semacam ini telah berlangsung lama. Dalam hal pemberian jenis kelamin terhadap robot dan personifikasi mesin yang telah mengalami seksualisasi, identitas seksual digital terlalu sering diduga-duga, namun sampai saat ini masih sedikit dipertimbangkan.

Hubungan antara manusia dan "rekan-rekan" buatan mereka mengacu kembali ke mitos Yunani kuno, dimana patung buatan pemahat Pygmalion dibawa ke kehidupan nyata dengan sebuah ciuman.

Mitos ini merupakan produk dari legenda dan fiksi ilmiah -- bagian dari sejarah yang ditulis dan bagian dari masa depan yang kita bayangkan.

Pemikir feminis Donna Haraway yang terkenal dengan karyanya "A Cyborg Manifesto" menjadi peletak dasar modern untuk mempertimbangkan sebuah dunia pasca-gender secara serius, dimana perbedaan antara kehidupan alam dan buatan menjadi kabur. Ditulis pada 1991, karya itu seolah menjadi ramalan yang terbukti dalam hal berpikir tentang seksualitas buatan.

Tapi hanya karena kita harus menghindari untuk memindahkan label gender dan bias seksual yang ada ke dalam teknologi masa depan, kita juga harus berhati-hati untuk tidak memindahkan tingkah laku yang dibuat-buat.

Kurangnya keterbukaan tentang seks dan identitas seksual telah menjadi sumber penderitaan mental dan sosial yang besar bagi banyak orang, bahkan seluruh masyarakat, selama berabad-abad. Politik di balik kurangnya keterbukaan ini sangat merusak.

Ruang lingkup robot seks

Ruang lingkup robot seks

Kampanye ini memang bertujuan untuk menghindari seksualisasi robot, tetapi juga berdampak pada mempolitisasi robot seks, dan melakukannya dengan cara yang sempit. Jika robot tidak seharusnya memiliki seksualitas buatan, mengapa manusia harus memiliki moralitas yang sempit?

Ini merupakan salah satu cara untuk membahas dan menyimpulkan sesuatu mengenai perkembangan teknologi. Lain halnya dengan menuntut keheningan sebelum orang memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya.

Ruang lingkup untuk robot seks jauh melampaui definisi Richardson sebagai "mesin dalam bentuk wanita atau anak-anak untuk digunakan sebagai objek seks, yang mengganti rekan manusia atau pelacur". Ya, kita memaksakan keyakinan kita pada mesin ini.

Kita membawa prasangka dan asumsi. Seperti kebanyakan teknologi yang kita gunakan saat ini, robot seks telah dirancang oleh laki-laki, untuk laki-laki. Pikirkan obyek yang kita gunakan sehari-hari: smartphone lebih cocok untuk tangan seorang laki-laki yang lebih besar dan saku pakaian laki-laki, atau alat pacu jantung hanya cocok untuk 20% wanita.

Mesin adalah batu tulis kosong

Mesin adalah batu tulis kosong

Robotika juga memungkinkan kita untuk mengeksplorasi isu-isu tanpa pembatasan menjadi manusia. Sebuah mesin adalah batu tulis kosong yang menawarkan kita kesempatan untuk membingkai ulang gagasan kita.

Internet telah membuka sebuah dunia, di mana orang dapat mengeksplorasi identitas dan politik seksualnya, dan membangun komunitas orang-orang yang berbagi gagasan.

Dibantu oleh teknologi, masyarakat memikirkan kembali dualisme seks/gender. Mengapa sebuah robot seks menjadi serba dua --laki-laki dan perempuan--?

Kemudian robot seks pun bisa melampaui seks itu sendiri. Bagaimana dengan ruang lingkup robot seks untuk terapi? Tidak hanya terapi pribadi (bagaimana pun juga, pendampingan dan perawatan robot sudah digunakan), tetapi juga dalam hal terapi bagi mereka yang melanggar hukum.

Virtual reality telah diuji coba dalam bidang psikologi dan telah diusulkan sebagai cara untuk mengobati pelaku kejahatan seks. Tunduk pada pertimbangan etis, robot seks bisa menjadi cara yang sah untuk maju dengan pendekatan ini.

Kampanye melawan kemajuan adalah picik. Alih-alih menyerukan larangan langsung, mengapa tidak menggunakan gagasan tersebut sebagai basis untuk mengeksplorasi ide-ide baru dari inklusivitas, legalitas dan perubahan sosial?

Ini adalah waktu bagi pendekatan baru untuk seksualitas buatan, yang mencakup berpindahnya hegemoni dari mesin biasa menjadi mesin seks dan semua bias terkait.

Mesin hadir sesuai dengan tujuan kita membuatnya. Setidaknya, untuk saat ini, jika kita telah kehilangan kendali atas hal itu, maka kita memiliki sejumlah permasalahan lain.

Ketakutan terhadap salah satu cabang kecerdasan buatan yang masih dalam tahap awal ini adalah alasan untuk melakukan penyesuaian terhadapnya, bukan melarangnya. Sebuah kampanye untuk menghentikan robot pembunuh adalah satu hal, tapi bagaimana dengan kampanye melawan robot seks? Bercinta, bukan perang.


Penulis: Kate Devlin, Dosen Senior, Departemen Komputasi, Goldsmiths, University of London, Bendahara Masyarakat untuk Studi Kecerdasan dan Buatan dan Simulasi Perilaku Inggris


Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris di tautan ini dan kami menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

(why/isk)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya