Liputan6.com, Jakarta - Lebih dari 200 ribu pengguna Uber menghapus aplikasi dan akun Uber dari smartphone mereka. Hal ini sebagai bentuk kemarahan warga Amerika Serikat kepada Uber saat terjadinya unjuk rasa di sejumlah bandara.
Berdasarkan laporan Business Insider, Jumat (3/2/2017), banyak pengguna yang menghapus aplikasi Uber lantaran perusahaan terus beroperasi melayani penumpang di Bandara John F Kennedy International, Sabtu lalu.
Padahal, banyak perusahaan taksi lain justru menghentikan layanan dan bermaksud memprotes kebijakan imigrasi yang ditanda tangani Presiden Donald Trump.
Advertisement
Baca Juga
Seakan memperburuk keadaan, Uber juga mengumumkan bahwa perusahaan memutuskan untuk menghapus lonjakan tarif ke bandara saat aksi unjuk rasa sedang panas-panasnya. Hal ini juga yang seolah membuat kesan bahwa Uber memanfaatkan situasi.
Perusahaan pemanggil taksi ini dianggap mendulang keuntungan dari pemogokan taksi di Amerika Serikat. Apalagi, CEO Uber Travis Kalanick yang sempat menjadi anggota dewan ekonomi Presiden Trump dianggap ikut mendukung kebijakan imigrasi tersebut.
Kemarahan publik terhadap Uber tampaknya terjadi sangat cepat. Dikabarkan, sebelumnya belum pernah terjadi penghapusan aplikasi Uber dalam jumlah yang sangat besar seperti saat ini.
Tak Bermaksud Mendukung Trump
Uber memang punya sejumlah kontroversi di masa lalu, namun tampaknya keterlibatan sang CEO dengan Donald Trump menyebabkan masalah tersendiri bagi perusahaan.
Sebelumnya, Business Insider menerbitkan sebuah bocoran email dari CTO Uber yang menyebut, dirinya tak akan pernah menerima Trump sebagai pemimpinnya.
Karyawan pun gundah lantaran sang CEO dianggap mendukung Trump, dampaknya tagar #DeleteUber berkumandang di dunia maya selama akhir pekan.
Kalanick lalu memutuskan untuk mundur dari posisinya sebagai angggota dewan penasihat ekonomi Presiden Trump.
"Tujuan saya ikut bergabung dengan dewan penasihat bukan karena mendukung presiden, namun hal itu telah disalah artikan," tutur Kalanick dalam memonya.
(Tin/Isk)