Ketimbang Cuti, Bos Uber Malah Disarankan untuk Resign

Pendiri Virgin Group Richard Branson malah menyarankan CEO Uber Travis Kalanick untuk hengkang. Mengapa?

oleh Jeko I. R. diperbarui 16 Jun 2017, 19:30 WIB
Diterbitkan 16 Jun 2017, 19:30 WIB
Travis Kalanick
CEO Uber Travis Kalanick. (Foto: TIME)

Liputan6.com, San Francisco - CEO Uber Travis Kalanick secara resmi mengumumkan akan mengambil periode cuti panjang. Meski tidak diketahui kapan ia akan kembali, Kalanick berjanji bakal berubah menjadi pribadi yang lebih baik demi masa depan Uber dan para karyawannya.

Pertimbangan Kalanick untuk hiatus dari Uber, juga merupakan rujukan dari dewan direksi perusahaan.

Mereka menilai, Kalanick menjadi salah satu pemicu kemelut yang terjadi di perusahaan. Sosoknya yang temperamental, 'nyeleneh', dan terkadang terlalu kelewat bebas, dianggap harus diperbaiki selama ia menghabiskan masa cutinya.

Kepergian sementara orang nomor satu di Uber itu, malah dipandang pesimistis oleh Richard Branson, pendiri dari Virgin Group Amerika Serikat. Menurutnya, Kalanick seharusnya tidak memilih untuk cuti. Ia malah menyarankan Kalanick untuk meninggalkan Uber secara permanen.

“Saya pikir, ia harus hengkang. Dan malah, ia seharusnya resign dari Uber bertahun-tahun yang lalu,” kata Branson sebagaimana Tekno Liputan6.com kutip via Business Insider, Jumat (16/6/2017).

Menurut miliarder pemilik maskapai Virgin ini, seorang entrepreneur seperti Kalanick memang memiliki ide dan inovasi brilian dalam berbisnis. Meski begitu, seorang entrepreneur bukan berarti bisa memimpin sebuah perusahaan besar.

“Travis Kalanick tentu bukan tipe orang yang pandai memimpin. Ia seharusnya sadar akan kekurangan ini, dan alangkah lebih baik jika ia memaksimalkan potensi yang dimiliki untuk Uber tapi bukan sebagai CEO,” lanjut Branson.

Branson juga memberikan saran untuk Uber soal pertimbangan cuti panjang Kalanick. Menurutnya, berbenah kultur perusahaan bukan jadi jaminan.

“Saran yang bisa saya kasih adalah coba cari orang yang lebih baik (dari Kalanick), yang bisa mengayomi dengan budaya kerja santun, yang bisa mengatur semuanya dalam skala harian,” pungkasnya.

Reputasi Uber di negara asalnya sendiri, Amerika Serikat, memang kurang baik. Banyak kabar miring yang beredar, mengungkap seperti apa bobroknya kultur perusahaan.

Sebutlah mulai dari banyak karyawan yang merendahkan karyawan wanita, lolos dari kejaran aparat, insiden pelecehan seksual hingga memecat 20 karyawan, dan masih banyak lagi.

Karena itu, Uber memang harus berbenah diri. Sebagai perusahaan teknologi prestisius di dunia dengan nilai lebih dari US$ 60 miliar, Uber seharusnya bisa lebih baik dan tidak terjungkal hanya karena masalah internal seperti ini.

(Jek/Isk)

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya