Liputan6.com, Jakarta - Pada awal tahun ini, Bank Denmark, Saxo Bank, merilis prediksi 2019. Ada beberapa hal mengerikan yang menjadi "ramalan buruk".
Salah satunya perkiraan itu adalah munculnya fenomena alam, badai matahari, yang diperkirakan memberi kerugian secara ekonomi.
Advertisement
Baca Juga
Fenomena alam ini diprediksi akan menimbulkan kerugian sebesar US$2 triliun atau sekitar Rp 28.960 triliun!
Dikutip dari Metro, Sabtu (16/3/2019), Saxo memprediksi badai matahari akan menyapu satelit yang berada di hemisfer barat.
Hal ini akan mengakibatkan kerusakan di GPS, wisata luar angkasa, serta infrastruktur logistik dan listrik.
Sebelumnya, badai matahari hebat pernah terjadi pada 1859. Peristiwa yang dinamakan Carrington Event ini menyebabkan lontaran massa korona (coronal mass ejection/CME) menghantam magnetosfer bumi. Peristiwa ini mengakibatkan aurora borealis terlihat di seluruh dunia.
Selain itu, ada juga prediksi bahwa Apple akan membeli saham Tesla seharga US$ 520 per lembar.
Raksasa teknologi ini diperkirakan akan mengembangkan sahamnya di bidang otomotif.
Saxo juga memperkirakan Netflix akan gulung tikar pada tahun ini. Perusahaan asal Amerika Serikat tersebut "diramal" tidak akan kuat bersaing.
Sekadar informasi, prediksi ini berada di kajian "Outrageous Prediction" . Kajian tersebut memuat hal-hal yang kemungkinan akan terjadi pada 2019 dan berpengaruh terhadap finansial global.
Badai Matahari Menerjang Bumi, Apakah Indonesia Bakal Terdampak?
Beberapa hari lalu, ahli prakiraan dari Space Weather mengumumkan kalau Badai Matahari akan bergerak mengarah ke Bumi pada hari ini, Jumat (15/3/2019). Badai tersebut merupakan hasil dari lubang yang ada di di atmosfer Matahari.
Secara teoritis, seperti dikutip dari The Express, Badai Matahari memiliki dampak yang cukup mengganggu. Beberapa di antaranya dapat mematikan sinyal ponsel, TV digital, hingga menonaktifkan fungsi GPS.
Meskipun demikian, Badai Matahari disebut tidak terlalu berbahaya. Dalam situsnya, Space Weather mengatakan bahwa Badai Matahari ini masuk dalam kategori G1 Minor. Dengan kata lain, peristiwa kali ini tidak berimbas banyak pada kondisi Bumi.
"Badai geomagnetik Minor kelas G1 kemungkinan akan tiba pada 15 Maret 2019. Oleh sebab itu, para pengamat langit di Artik, siapkan kamera kalian," tulis Space Weather.
Sekadar informasi, peristiwa badai magnetik biasanya menjadi penyebab terjadinya aurora di kutub utara dan selatan.
Untuk di Indonesia sendiri, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), memastikan bahwa tidak ada dampak dari Badai Matahari. Hal itu diumumkan melalui akun Twitter resmi masing-masing.
Menurut BMKG, berdasarkan pemantauan yang dilakukan pada enam stasiun magnet Bumi di Indonesia, dampak dari badai magnetik yang ada sangat lemah. Pun ada masalah, biasanya terjadi pada wilayah lintang tinggi.
"Indonesia yang berada di wilayah ekuator memiliki kemungkinan sangat kecil untuk mengalami gangguan akibat badai geomagnetik ini," tulis BMKG melalui akun Twitter resminya.
Â
Advertisement
Pernyataan LAPAN
Senada dengan BMKG, LAPAN menyebut bahwa intensitas paparan badai kali ini sangat lemah, meski ada kemungkinan paparan ini dapat berdampak pada satelit.
Menurut LAPAN, pengaruh Badai Matahari ke satelit dapat mengakibatkan perangkat tersebut kelebihan paparan energi (latch up).
"Pengaruh badai matahari ke satelit, yaitu akan mengalami latch up/over current (kelebihan paparan energi), sehingga harus dibuang dengan cara menyalakan beberapa sub-sistem/ devices (reaction wheel, RF transmission, kamera, dsbnya)," tulis LAPAN.
Perlu diketahui, Badai Matahari sebenarnya merupakan peristiwa alam yang normal terjadi. Biasanya, peristiwa ini terjadi karena ada aktivitas pelontara massa korona di Matahari.
Saat sampai di Bumi, Badai Matahari yang berinteraksi dengan medan magnet akan mengakibatkan gangguan sementara pada lapisan magnetosfer sehingga mengakibatkan Badai Geomagnetik.
(Jek/Ysl)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: