Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Amerika Serikat melalui Federal Trade Commission (FTC) setuju untuk memberikan sanksi denda senilai USD 5 miliar atau sekitar Rp 70 triliun pada Facebook.
Denda ini merupakan buntut dari skandal Cambridge Analytica yang terjadi tahun lalu.Â
Informasi ini diketahui dari laporan The Wall Street Journal beberapa waktu lalu. Dikutip dari CNBC, Minggu (14/7/2019), denda yang dibebankan pada Facebook disebut-sebut merupakan jumlah denda terbesar yang dibebankan pemerintah AS pada perusahaan teknologi.Â
Advertisement
Baca Juga
Jumlah denda tertinggi sebelumnya terjadi pada 2012. Ketika itu Google diminta membayar denda sebesar USD 22,5 juta atas pelanggaran privasi pengguna.Â
Laporan ini menyebutkan, apabila denda ini diberlakukan, jumlah itu setidaknya sekitar 9 persen dari pemasukan Facebook pada 2018.
Kendati demikian, pemberian denda ini menuai kritik dari sejumlah senator dan anggota Kongres.Â
Salah satu anggota Kongres menyebut bahwa denda ini hanya tamparan kecil bagi Facebook. Terlebih, denda itu hanya sebagian kecil dari pendapatan raksasa media sosial itu.
Terlepas dari denda yang diberikan, sejumlah pihak masih mempertanyakan jaminan Facebook terhadap privasi data penggunaannya di masa depan. Sebab, masalah semacam ini bukan pertama kali terjadi di perusahaan tersebut.Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini
Kasus Cambridge Analytica dan Facebook
Sebelumnya, Facebook mengungkap informasi sekiranya 87 juta pengguna telah digunakan secara tidak layak oleh perusahaan konsultan politik, Cambridge Analytica.
Sebagian besar merupakan data pengguna Facebook di Amerika Serikat (AS), dan Indonesia juga termasuk tiga besar yang menjadi korban.
Ada 70,6 juta akun yang disalahgunakan berasal dari AS, Filipina berada di posisi ke dua dengan 1,2 juta dan Indonesia dengan 1 jutaan akun. Dari total jumlah akun yang disalahgunakan, 1,3 persen adalah milik pengguna di Indonesia.
Negara-negara lain yang juga menjadi korban adalah Inggris, Meksiko, Kanada, India, Brasil, Vietnam dan Australia. Namun, Facebook mengaku tidak tahu rincian data yang diambil dan jumlah pasti akun yang menjadi korban.
"Total, kami yakin informasi dari 87 juta orang di Facebook, sebagian besar di AS, telah dibagikan secara tidak layak dengan Cambridge Analytica," tulis Facebook dalam keterangan resminya, Kamis (5/4/2018).
Untuk mencegah masalah serupa kembali terjadi, Facebook sekaligus mengumumkan sembilan perubahan penting di layanannya. Hal ini bertujuan memberikan perlindungan yang lebih baik untuk seluruh informasi yang ada di Facebook.
Sembilan perubahan penting itu mencakup API untuk layanan Event, Group, Page, Instagram, Platform, login Facebook, Search and Account Recovery, data panggilan telepon dan pengiriman pesan, Data Providers and Partner Categories, serta pengaturan aplikasi.
Advertisement
Tak Ada Data Pengguna Indonesia yang Disalahgunakan
Belakangan, perusahaan yang dipimpin Mark Zuckerberg itu memastikan tak ada pengguna asal Indonesia yang menjadi korban penyalahgunaan data oleh Cambridge Analytica.
"Dalam investigasi awal, Facebook menyebut tak ada pengguna asal Indonesia yang datanya diambil oleh Cambridge Analytica," tutur Dirjen Aplikasi Informatika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan.
Selain itu, raksasa media sosial itu juga memperbarui data jumlah pengguna yang disalahgunakan. Menurut Semuel, data pengguna Facebook yang disalahgunakan seluruhnya ada di Amerika Serikat.
"Sebelumnya, disebutkan ada 87 juta pengguna Facebook yang terdampak, tapi dari laporan terkini, hanya ada 30 juta pengguna dan seluruhnya berada di Amerika Serikat," tuturnya menjelaskan.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Semuel, Facebook memastikan tak ada kebocoran data pengguna. Media sosial itu menegaskan tak ada sistem keamanan yang dibobol oleh Cambridge Analytica maupun rekanannya.
"Facebook menyebut akses data oleh aplikasi itu terbatas pada informasi yang disetujui pengunduh aplikasi untuk dibagikan, sesuai dengan pengaturan privasi mereka sendiri," ujarnya.
Karenanya, pria yang akrab dipanggil Semmy tersebut menuturkan, batasan data yang dapat dibagi itu sebenarnya tergantung pada masing-masing individu pengguna.
"Jadi, memang di media sosial itu seluruhnya ada di kita (pengguna), termasuk soal pengaturan privasi. Jadi, ada yang membuka datanya, ada pula yang membatasinya," tuturnya menjelaskan.
Kendati demikian, ia memastikan pihaknya masih terus melakukan pengawasan, mengingat investigasi masih dilakukan. Ia pun menegaskan pada penyedia layanan di Indonesia harus mematuhi aturan, terutama soal privasi data.
(Tin/Isk)