Liputan6.com, Jakarta - Facebook belum lama ini mengumumkan pihaknya menghapus lebih dari 20 juta konten misinformasi seputar Covid-19.
Namun upaya Facebook dalam menangani konten misinformasi tidak sebatas pada penghapusan konten. Menurut Kepala Kebijakan Misinformasi Asia Pasifik Facebook, Alice Budisatrijo, Facebook melakukan tiga strategi dalam menangani konten misinformasi di platform-nya.
"Kompleksitas informasi yang ada di platform membuat kami memiliki tiga strategi utama untuk mengatasi misinformasi di Facebook, yakni menghapus, mengurangi, dan menginformasi," kata Alice dalam diskusi dan edukasi Kominfo dan Facebook seputar kebijakan Facebook meredam misinformasi Covid-19 yang digelar daring.
Advertisement
Baca Juga
Karena kompleksitas informasi yang ada di Facebook itu tadi, media sosial ini mendefinisikan perbedaan antara misinformasi dengan disinformasi.
Bagi Facebook, misinformasi merupakan informasi salah yang seringnya disebar secara tidak sengaja dan bukan merupakan bagian dari upaya terkoordinasi untuk menyesatkan orang.
Sementara, disinformasi dinilai sebagai aktivitas berbagi konten yang disengaja untuk menyesatkan orang lain dan merupakan bagian dari kampanye manipulasi.
"Pendekatan Facebook untuk menangani disinformasi adalah dengan menghapus konten-konten disinformasi. Pasalnya, disinformasi merupakan bentuk pelanggaran kebijakan Facebook sehingga jejaring sosial ini tidak mentoleransi adanya konten disinformasi," ucap Alice, dikutip Minggu (22/8/2021).
Bagaimana dengan misinformasi? Facebook menerapkan tiga strategi di atas untuk konten misinformasi, yakni menghapus, mengurangi, dan memberikan informasi yang benar. Oleh karenanya, salah satu bagian dari strategi Facebook adalah melalui pemeriksaan fakta pihak ketiga.
Sekadar informasi, saat ini Facebook bekerja sama dengan 80 lembaga pemeriksa fakta pihak ketiga independen dalam 60 bahasa, termasuk di Indonesia. Dari pemeriksaan fakta pihak ketiga inilah, Facebook mengambil keputusan. Konten yang dihapus adalah konten misinformasi yang melanggar kebijakan Facebook.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Misinformasi yang Dihapus Facebook
Alice menjelaskan, misinformasi terkait Covid-19 yang dihapus Facebook antara lain adalah klaim bahwa Covid-19 tidak ada atau tidak berbahaya, klaim tentang hydroxychloroquine sebagai obat Covid-19, tes PCR tidak dapat mendeteksi Covid-10, vaksin dapat mengubah DNA, atau anggapan bahwa banyak orang sengaja dicovidkan.
Misinformasi lain yang juga dihapus adalah ujaran kebencian, perundungan, pelecehan, spam, dan konten lain yang melanggar Standar Komunitas Facebook.
Strategi kedua adalah dengan mengurangi distribusi konten misinformasi. Dalam konteks mengurangi, ketika pemeriksa fakta menilai konten sebagai konten yang salah, diubah, atau sebagian salah distribusinya akan dikurangi dari News Feed Facebook atau Instagram. Dengan begitu lebih sedikit orang yang melihatnya.
"Halaman dan akun yang berulang kali membagikan misinformasi juga akan mengurangi pengurangan distribusi. Hak mereka untuk memonetisasi konten dan beriklan juga dihapus," kata Alice.
Adapun jenis konten yang distribusinya dikurangi adalah konten spam, sensasional seperti clickbait, dan engagement bait yang serupa dengan misinformasi.
Advertisement
Strategi Ketiga, Informasikan ke Pengguna
Strategi ketiga untuk menangani misinformasi adalah dengan memberikan informasi yang benar tentang konten misinformasi yang disebarkan. Dalam hal ini, menurut Alice, Facebook berupaya memberi informasi pengguna dengan memberikan mereka lebih banyak konteks sehingga bisa memutuskan apa yang harus dibaca, dipercaya, dan dibagikan.
Facebook dan Instagram juga memberikan sejumlah label berbeda yang bisa dipilih pemeriksa fakta pihak ketiga ketika menilai konten. Label yang dimaksud mulai dari Salah, Diubah, Sebagian Salah, Konteks Hilang, dan Satir.
"Konten di Facebook yang telah dinilai salah atau diubah akan diberi label sehingga orang bisa memutuskan mana yang perlu dibaca, dipercaya, atau dibagikan. Label ini ditampilkan di atas foto atau video palsu yang diubah, termasuk di atas konten Stories Instagram," kata Alice.
Tak hanya bergantung pada pemeriksa fakta pihak ketiga, Facebook juga menggunakan kecerdasan buatan untuk mengidentifikasi konten yang identik atau serupa dengan yang dinilai pemeriksa fakta. Selanjutnya AI akan secara otomatis menerapkan label atau mengurangi distribusi konten.
Kenapa Tak Semua Konten Misinformasi Dihapus?
Alice juga memberikan penjelasan mengapa tidak semua konten misinformasi dihapus dari platform Facebook. Menurutnya, Facebook sebagai platform media sosial tidak bisa menjadi penentu apa yang benar dan apa yang salah pada semua hal.
"Jika Facebook menentukan semua yang diunggah harus benar, artinya kami harus tahu semua kebenaran di dunia ini, tentunya tidak mungkin terjadi. Dan juga dalam misinformasi, seringkali fakta itu tidak mutlak," katanya.
Menurutnya, banyak hal yang menurut satu orang adalah pandangan pribadi namun dinilai orang lain sebagai pandangan yang sesat. Oleh karenanya Alice mengatakan, tidak akan bisa adil dan konsisten jika Facebook menerapkan aturan bahwa semua yang diunggah di Facebook harus benar.
Namun menurut Alice, Facebook memiliki aturan yang bertujuan untuk melindungi pengguna, dengan begitu orang tidak bisa mengunggah misinformasi tanpa konsekuensi.
(Tin/Isk)
Advertisement