LAPAN BRIN: Hujan Meteor Arid Terjadi Awal Oktober 2021

Peneliti Pusat Riset Sains Antariksa LAPAN BRIN menyebut, hujan meteor Arid terjadi pada awal Oktober 2021.

oleh Agustin Setyo Wardani diperbarui 09 Okt 2021, 18:00 WIB
Diterbitkan 09 Okt 2021, 18:00 WIB
Hujan meteor persaid hadir setiap tahun.
Hujan meteor persaid hadir setiap tahun. (Sumber Nasional Park Services)

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti di Pusat Riset Sains Antariksa (Pussainsa) Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (Lapan) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andi Pangerang menyebut, pekan ini hujan meteor terbaru akan terlihat dari Bumi. Ia mengatakan, hujan meteor baru ini belum pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya.

Menurutnya, hujan meteor ini mulai menyembur sejak sepekan silam. Para astronom pun memprediksi, puncak aktitivas hujan meteor ini akan terjadi beberapa hari ke depan.

Andi mengatakan, hujan meteor ini terlihat redup melalui instrumen radar bagi beberapa wilayah paling selatan di belahan selatan Bumi yang masih bisa dihuni manusia seperti Argentina, Chile, dan Selandia Baru.

Andi mengatakan, hujan meteor umumnya memang terjadi setiap tahun ketika debu komet maupun asteroid berpotongan dengan orbit Bumi mengelilingi Matahari.

"Untuk kasus hujan meteor terbungsu ini, justru debu komet 15P/Finlay, sebagai objek induk (parent body) hujan meteor tersebut, tidak pernah berpotongan dengan orbit Bumi," tuturnya, seperti dikutip dari keterangan resmi Lapan BRIN yang diterima Tekno Liputan6.com.

Andi mengatakan, hujan meteor terbungsu ini tidak pernah berpotongan dengan orbit Bumi karena ukuran debu komet yang kecil. Selain itu, ditambah dengan angin surya dari Matahari yang dapat mengubah posisi debu komet menjadi bergeser dari posisi semula.

Andi menjelaskan awalnya hujan meteor ini dinamai “Finlay-id” berdasarkan nama objek induknya. Penamaan ini mengingatkan dengan hujan meteor Draconid yang semula dinamai Giancobinid, sesuai nama penemunya.

Konfirmasi pengamatan terbaru menunjukkan bahwa hujan meteor tersebut muncul dari konstelasi Ara, konstelasi di langit selatan yang terletak di antara konstelasi Centaurus, si manusia kuda dan Lupus, si serigala.

Ia menjelaskan, konstelasi ini dinamakan Ara yang dalam Bahasa Latin berarti altar atau pedupaan dikarenakan figur bintang yang menyerupai altar.

Hujan meteor ini pun dinamakan dengan Arid. Hal ini sesuai dengan lokasi kemunculan hujan meteor tersebut.

Menurut penjelasannya, nama Arid sudah ditambahkan ke dalam Daftar Kerja Hujan Meteor IAU (Uni Astronomi Internasional). Hal ini berdasarkan laporan pengamatan tertanggal 1 Oktober 2021 oleh Biro Pusat untuk Telegram Astronomi di Universitas Harvard.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Awal Terdeteksinya Hujan Meteor Arid

Hujan Meteor Geminid
Hujan Meteor Geminid (@unearthedimagery/Instagram).

Hujan meteor Arid mula-mula terdeteksi melalui kamera pemantau meteor CAMS ( Camera for Allsky Meteor Surveillance) di Selandia Baru berturut-turut pada tanggal 28 dan 29 September 2021.

Saat itu, radar meteor SAAMERS-OS ( Southern Argetina Agile Meteor Radar Orbital System) di Pulau Tanah Api (Tierra del Fuego), Argentina Selatan mendeteksi hujan meteor ini setidaknya selama tiga jam pada tanggal 29 September.

Namun jauh sebelumnya, di tahun 1995, debu komet 15P/Finlay pertama kali menyembur selama perihelion 1995. Semburan kedua terjadi pada tahun 2008. Selanjutnya, di tahun 2014, debu komet 15/Finlay menyembur untuk ketiga kalinya.

Menurut pengamatan, puncak hujan meteor Arid diprediksi pada tanggal 7 Oktober 2021 pukul 10.55 WIB / 11.55 WITA / 12.55 WIT berdasarkan tiga pengamatan semburan debu komet sebelumnya.

 


Ukuran Debu Komet

Hujan Meteor Geminid
Hujan Meteor Geminid (@outlaw_indian_imaging/Instagram).

Andi menambahkan, meskipun ukuran inti komet 15P/Finlay sebesar 1,8 kilometer, debu komet ini hanya berukuran seperti butiran pasir. Dengan ukurannya yang seperti butiran pasir, hujan meteor ini bergerak cukup lambat dibandingkan dengan hujan meteor Draconid.

Laju hujan meteor Arid adalah 38.880 km/jam, sementara laju hujan meteor Draconid 72.000 Km/jam. Dengan begitu, hujan meteor Arid cukup sulit diamati.

Namun, Andi menyebut, meskipun lajunya lambat, tidak tertutup kemungkinan data pengamatan hujan meteor ini dapat terkumpul dengan cukup dari berbagai belahan Bumi.

“Anda dapat menyaksikan hujan meteor Arid sejak senja bahari (20 menit setelah terbenam Matahari) dari arah Selatan-Barat Daya hingga Barat Daya selama 3,5 jam hingga pukul 21.30 waktu setempat," katanya.

Mereka yang berada di belahan utara tetap berkesempatan menyaksikan hujan meteor ini, meskipun lokasi pengamatan terbaik hujan meteor ini berada di belahan selatan Bumi.

(Tin/Isk)

 


Infografis Terjadinya Gerhana Matahari

Infografis Gerhana Matahari Total, Tidak Buta karena Gerhana
Infografis Gerhana Matahari Total, Tidak Buta karena Gerhana (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya