Liputan6.com, Jakarta - Sejenak melepas beban yang berhimpit dengan rutinitas sehari-hari. Melunasi dahaga bahagia. Pentas musik kali ini jadi pilihan. Anak-anak muda terinspirasi dari apa yang dirasakan masyarakat. Rasa yang hidup dan terpelihara. Rasa yang terinspirasi dari sebuah lagu.
Dalam pentas ini, ada harapan yang terangkat. Pentas ini juga menjadi ajang mencari rejeki. Seperti laron yang selalu mendekat kepada cahaya. Dangdut erat dalam keseharian yang menemani segala suasana.
Baca Juga
Gerimis kecil kali ini. Tak nampak ada yang bersusah hati. Bagi penggemar, memenuhi biduan dengan lembaran uang selalu menyenangkan hidup bergoyang, dangdut pun jalan terus.
Advertisement
Dangdut jadi kebutuhan dan menghidupi orang-orang di sekitarnya.
"Perjuangan Ria Nada dari cuma gerobak sampai bisa beli sound system sendiri," ujat Mami, pengusaha dangdut.
Cengkok vokal jadi modal. Seperti Lesti kecil mencoba menggapai mimpi. Televisi menjadi media yang paling luas menjangkau penikmatnya dan memberi ruang, dan sebagian datang untuk menjemput impian.
Angin bertiup ringan, namun energinya cukup untuk meluruhkan dedaunan dari tangkainya. Dangdut, asik berdendang. Tidak dinikmati untuk sekadar melupakan lara, tapi mencari bahagia.
Panggung pun memberi harapan, dan dangdut gamblang menegaskan posisi dirinya kembali.
Profesor musik dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat, Andrew Weintraub dalam bukunya, Dangdut Stories yakin dangdut berakar dari masyarakat. Dangdut besar dengan jalur dan takdirnya sendiri.
Saksikan bagaimana dangdut di Indonesia merakyat selengkapnya dalam tayangan Potret Menembus Batas SCTV, Minggu (14/2/2016), di Bawah Ini.