Potret Menembus Batas: Elegi Jejak Film Nasional

Selain sebagai hiburan, film juga dianggap mencerminkan kondisi sosial masyarakat suatu bangsa.

oleh Liputan6 diperbarui 21 Mar 2016, 01:49 WIB
Diterbitkan 21 Mar 2016, 01:49 WIB
Potret Menembus Batas: Elegi Jejak Film Nasional
Selain sebagai hiburan, film juga dianggap mencerminkan kondisi sosial masyarakat suatu bangsa.

Liputan6.com, Jakarta - Tak menghibur semata, tapi film juga merekam perjalanan bangsa. Sejak era revolusi fisik, pergantian rezim orde lama ke orde baru hingga dinamika masa reformasi.

Semua sejarah itu terekam dalam gulungan pita seluloid. Pita yang bercerita tentang sejarah.

Slamet Raharjo Djarot merupakan seorang ensiklopedi perfilman nasional. Kecintaannya terhadap film tidak diragukan lagi.

Melawan jenuh film-film cepat saji yang beredar, film-film lawas membuktikan masih memiliki penggemar. Di jantung kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Kinosaurus memberi ruang tontonan alternatif di akhir pekan.

Bagi penggemar film nasional seperti ibu Taty Delma Juzar, film Darah dan Doa yang menjadi penanda babak baru film nasional adalah ajang nostalgia. Buat Fransis lain lagi, Gandrung akan film segala genre, film klasik Darah dan Doa punya sentuhan yang tidak dimiliki film yang banyak beredar saat ini.

Darah dan Doa atau The Long Marc adalah tonggak perfilman nasional. Itulah film pertama Perusahaan Film Nasional Indonesia atau Perfini. Syuting pertama film itu adalah tanggal 30 Maret 1950, yang juga ditetapkan sebagai Hari Film Nasional.

Memasuki abad ke-21, pita kimiawi berganti teknologi digital. Hanya saja, dokumentasi olah gerak dan suara bersejarah itu bernasib miris, terbengkalai dalam ruang dan waktu di sudut gedung tua Perum Produksi Film Negara (PFN). 

Terletak di Jatinegara, Jakarta Timur, gedung PFN membisu tak terawat. Padahal, itulah institusi pertama perfilman nasional sejak berdiri 1934.

Cerita masa indah orde baru terkubur bersama ribuan rol film semenjak era reformasi hampir 18 tahun lalu. Edwin, sutradara muda film festival, bersama sejumlah seniman membentuk kelompok Lab Laba-Laba mengumpulkan dana dan tenaga guna menyelamatkan ribuan rol film produksi PFN, 2 tahun lalu.

Film-film seluloid didata dan dirawat. Yang utama, membuka akses seluas-luasnya kepada publik untuk kepentingan pendidikan dan kesenian.

Itulah pusat dokumentasi film Indonesia satu-satunya. Bahkan pernah menjadi pusat arsip film pertama di Asia Tenggara saat berdiri pada 20 Oktober 1975.

Lebih dari 3.000 rol film positif dan negatif menghuni pojok bawah tanah. Kondisinya lebih baik dari PFN namun masih jauh dari kata ideal.

Ribuan gulungan film diurus Firdaus seorang. Dari pukul 09.00 hingga 16.00 WIB, pria 44 tahun itu berkutat dengan tumpukan rol-rol film seluloid.

Film seluloid wajib tersimpan stabil pada suhu 9-12 derajat celcius serta kelembaban antara 45-65 persen. Kondisi yang akan membuat film berpita seluloid awet 100 tahun lebih. Namun, kondisi ideal udara jauh dari nyata.

Biaya perawatan jelas tak murah. Dibutuhkan lebih dari Rp 50 ribu untuk cairan pembersih per-judul film.

Berteman dinginnya ruang. Sendiri membersihkan gulungan seluloid dikelilingi aroma kuat bahan kimia asam asetat dan TCE alias Trichloroethylene.

Jelas itu bukan kondisi yang mendukung kesehatan buat Firdaus yang telah berbakti merawat film sejak 1998. Bau bahan kimia terlalu kuat buat masker seharga Rp 1.500 per-buah.

Lewat Jam Malam produksi sutradara Usmar Ismail, Badai Pasti Berlalu disutradarai Teguh Karya pada 1977 dan Cut Nyak Dien karya Eros Djarot pada 1988. Itulah, 3 contoh karya sineas negeri ini yang menggondol kategori film terbaik.

Teknologi berganti, konvensional pita seluloid ke digital. Namun tetap memberi pengaruh besar buat Riri Riza.

Buat sutradara 40 tahun itu, film-film klasik adalah harta karun. Baik bagi pendidikan sinematografi maupun pembelajaran sejarah bangsa. Petualangan Sherina, Laskar Pelangi dan Sokola Rimba besutan Riri Riza tak akan lahir tanpa referensi dari sederet film karya para maestro sebelumnya.

Film cerminan budaya bangsa. Bercerita tentang sejarah, budaya bahkan rahasia di dalamnya. Tak ada kata terlambat, pengarsipan film-film seluloid harus dilakukan.

Dengan dibantu konsultan dari Swiss, Kiki Muchtar dan kawan-kawan dari Yayasan Pusat Film Indonesia mencari formula pas untuk menyelamatkan rol-rol film klasik yang kondisinya mengkhawatirkan. Sebab, arsip film harus tetap lestari. Salah satu cara yakni alih media alias digitalisasi.

Film memberi gambaran jelas situasi zaman lewat rupa dan suara. Itu mengapa arsip film penting.

Saksikan bagaimana upaya penyelamatan arsip-arsip film nasional selengkapnya dalam Potret Menembus Batas SCTV, Minggu (21/3/2016), di bawah ini.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya