Liputan6.com, New York - Sepanjang 2013, Indonesia dan India berada di posisi teratas daftar negara yang paling dihindari dan ditakuti para investor. Tahun ini, apakah Thailand dan Malaysia yang akan menggeser posisi tersebut dan membuat para investor enggan membenamkan modalnya di sana?
Seperti dikutip dari Wall Street Journal, Rabu (19/3/2014), sejauh ini, mata uang Thailand dan Malaysia memang masih menunjukkan penguatan terhadap dolar AS. Selain itu, indeks saham di kedua negara juga mengalami kenaikan.
Namun baik Thailand maupun Malaysia, sama-sama berisiko dan dapat membuat para investor melarikan diri dari kedua negara tersebut.
Kepala lembaga pemeringkat global Fitch Ratings Asia, Andrew Colquhoun mulai mengamati lebih dalam apakah Thailand dan Malaysia akan segera menggantikan posisi Indonesia dan India sebagai negara-negara berkembang paling berisiko.
Bicara soal Thailand, negara tersebut dilanda protes keras menuntut penurunan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dari jabatannya yang telah berlangsung sejak November 2013. Kemampuannya untuk bertahan meski berada di tengah serangan kekacauan politik terus diuji.
Tapi akibatnya, tingkat investasi di Thailand berada jauh di bawah negara ASEAN lain dalam lima tahun tarakhir. Ini jelas bukan pertanda baik bagi para investor. Terlebih lagi, Thailand masih berupaya meningkatkan nilai jualnya dan keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah.
Belum lagi laju pertumbuhan Thailand yang sempat berada di posisi teratas ASEAN kini berada di level 3% dan berada di bawah Indonesia, Malaysia dan Filipina.
"Untuk negara dengan perkembangan dan tingkat pendapatan seperti Thailand, kondisinya benar-benar lemah saat ini," ungkap Colquhoun.
Bank Sentral Thailand terpaksa menurunkan suku bunganya pekan lalu guna menopang perekonomian yang tengah goyah.
Sementara di Malaysia, Fitch Ratings memberikan proyeksi negatif karena adanya kekhawatiran penurunan laporan ekonomi.
Baca Juga
Mengingat investasi yang meningkat dan cadangan devisa yang menurun, transaksi berjalan dapat ambruk dari surplus yang kini berjumlah 45% dari produk domestik brutor pada 2009. Tahun lalu, Malaysia nyaris mengalami defisit.
Colquhoun melihat risiko ekonomi Malaysia bisa ambruk dan mengalami defisit transaksi berjalan serta perdagangan. Akibatnya, para investor akan memilih menghindari risiko tersebut dan melarikan dananya ke negara lain.
Terlebih lagi, Thailand dan Malaysia juga dihadapkan dengan utang domestik. Thailand memiliki 80% utang dari PDB, sementara Malaysia jauh lebih tinggi dari angka tersebut.
Meski demikian, Wakil Pimpinan Penelitian Ekonomi ASia di HSBC Fred Neumann mengatakan, itu tak akan terjadi selama Malaysia dan Thailand tetap bisa menekan harga produk keuangannya.
"Selama uang yang beredar masih murah, tidak akan menjadi masalah. Tapi tentu saja, (Thailand dan Malaysia) tak bisa tetap bertahan dengan kondisi tersebut," ujarnya.
Hingga saat ini, belum ada yang menyatakan Thailand dan Malaysia masuk ke daftar lima negara berkembang dengan perekonomian terparah yang dikenal dengan sebutan `Fragile Five`. Namun jika kondisi tersebut terjadi, kemungkinan itu bisa terjadi.
Advertisement