Usulan Kenaikan Pajak Ponsel Mewah Belum Masuk ke Meja Menkeu

Kebijakan kenaikan pajak untuk produk ponsel, masuk dalam aturan PPh Impor Pasal 22 yang meningkat dari 2,5% menjadi 7,5%.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 07 Apr 2014, 12:57 WIB
Diterbitkan 07 Apr 2014, 12:57 WIB
Toko Ponsel
(Foto: Antara)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengaku belum menerima usulan perihal permintaan penyesuaian Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) produk ponsel dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) maupun Kementerian Perdagangan (Kemendag).

"Saya belum terima dari Kementerian Perindustrian, karena kadang kebijakan (policy) keluar di koran tapi kan saya nggak bisa merespon policy di koran," kata Menteri Keuangan, Chatib Basri di Jakarta, Senin (7/4/2014).

Kebijakan kenaikan pajak untuk produk ponsel, lanjut dia, masuk dalam aturan PPh Impor Pasal 22 yang meningkat dar 2,5% menjadi 7,5%. "PPnBM ponsel belum kami rencanakan karena belum lihat suratnya," sambung dia.

Di sisi lain, Chatib menyebut, ada beberapa kebijakan ekonomi Jilid I yang belum terealisasi.

"Kebijakan revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) segera terbit, dan PPnBM di luar mobil belum keluar," tutur dia.

Sementara kebijakan PPnBM mobil mewah bakal segera rilis setelah draft Peraturan Pemerintah (PP) ditandatangani Presiden.

"Sebentar lagi keluar, sekarang lagi proses administrasi di Kementerian Hukum dan HAM. Sebentar lagi di teken Presiden," ucap Chatib.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mendukung usulan pengenaan PPnBM sebesar 20% untuk produk ponsel dengan nilai jual di atas Rp 5 juta.

Dia mengatakan, pengenaan PPnBM ini selain diharapkan akan mengurangi impor ponsel yang masuk ke Indonesia. Selain itu, pengenaan PPnBM juga akan menarik investasi industri ponsel di dalam negeri.

"Kalau ditanya apakah setuju atau tidak, saya setuju. Ini bagian dari proses supaya investasinya datang," ujar Lutfi.

Lutfi mencontohkan, saat ini Indonesia mempunyai 220 juta sambungan telepon, namun industri pada sektor tersebut masih sangat minim di dalam negeri.

"Mungkin dengan proses dis-insentif itu, kita punya industri telepon yang hebat di masa depan. Tapi Blackberry itu sudah datang ke saya dan punya komitmen untuk bangun di Indonesia, meskipun terlambat, tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali," lanjut dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya