Cerita di Balik Kesuksesan RI Renegosiasi Harga LNG Tangguh

Kontrak penjualan gas Tangguh ke China diteken pada 2002 yaitu pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 01 Jul 2014, 13:31 WIB
Diterbitkan 01 Jul 2014, 13:31 WIB
Gas
(Foto:Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik bercerita soal kesuksesan pemerintah Indonesia melakukan renegosiasi harga gas alam cair (LNG) Tangguh yang diekspor ke Provinsi Fujian, China. Berkat hasil renegosiasi tersebut, pemerintah bisa mengantongi penerimaan hingga Rp 251 triliun hingga 2034.

Kontrak penjualan gas Tangguh ke China diteken pada 2002 yaitu pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri. Saat itu harga gas dipatok dengan rumus 5,25 persen x Japan Crude Cocktail (JCC) ditambah 1,35 (FOB).

"JCC adalah harga minyak mentah di Jepang, yang disepakati 2002 oleh British Petroleum di Tangguh dengan Fujian di China," kata Jero di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (1/6/2014).

Menurut Jero, hal itu membuat harga LNG Tangguh yang dijual ke China menjadi sangat rendah yaitu US$ 2,7 per juta british thermal unit (mmbtu).

Kemudian  sejak 2006, pemerintah terus melakukan renegosiasi harga dan  dan berhasil mendongkrak harga JCC naik menjadi US$ 38 per barel, sehingga harga jual gas menjadi US$ 3,3 per mmbtu.

"Kemudian 2010 sempat diadakan renegosiasi tapi nggak berhasil," paparnya.

Tak sampai di situ, harga hasil renegosiasi masih cukup rendah. Apalagi jika dibandingkan dengan harga ekspor LNG Indonesia yang sudah menembus US$ 18 per mmbtu.

Untuk itu, pemerintah kembali melakukan renegosiasi. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai bertemu dengan Presiden China Hu Jintao guna membahas nasib harga gas Tangguh.

Akhirnya setelah melakukan renegosiasi yang cukup panjang, tercapai kesepakatan bahwa harga LNG Tangguh sudah tidak dipatok dengan JCC di angka tertentu sehingga harganya mengikuti pergerakan harga minyak.

"Mulai 1 Juli , patokan harga ekspor LNG Tangguh ke Fujian yaitu 0,065 JCC+1,5. Kalau JCC-nya US$ 100 per barel, maka harganya menjadi US$ 8 per mmbtu.  Kalau JCC-nya,  US$ 110 maka harganya menjadi US$ 8,65 per mmbtu," tutur Jero.

Pada 2015, rumusnya 0,090 JCC + 1,3, dengan begitu jika harga minyak US$ 100, maka harga jual LNG US$ 10,3 per mmbtu. Sedangkan kalau harga minyak US$ 110, maka harga LNG US$ 11,2 per mmbtu. Kemudian pada 2016, rumus harga LNG Tangguh yaitu 0,105 JCC + 1,5. Kalau harga JCC US$ 100 per barel, maka harganya US$ 11,35 per mmbtu.

"Tadinya kita hanya dapat income US$ 5,2 miliar sampai 2034. Dengan harga baru menjadi US$ 20,9 miliar atau Rp 251 triliun. Setiap tahun negara dapat Rp 12,5 triliun," paparnya. (Pew/Ndw)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya