Liputan6.com, Paris Sejumlah prediksi mengenai kebijakan penarikan dana stimulus (tapering) yang dilakukan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) telah menciptakan ketakutan bagi negara-negara berkembang. Pasalnya, tapering diperkirakan akan mengganggu pasar keuangan di negara-negara berkembang seperti yang telah terjadi tahun lalu.
Namun, perusahaan finansial global asal Prancis Societe Generale justru mengungkapkan hal yang berbeda. Penguatan nilai tukar dolar dapat menjadi risiko yang lebih besar dibandingkan tapering yang dilakukan oleh Bank Sentral AS.
"Dampak dari kekuatan dolar yang terus merajalela dapat menjadi skenario yang lebih mengkhawatirkan dibandingkan gejolak tappering," ungkap Kepala Ekonomi Global di Societe Generale Michala Marcussen, Selasa (30/9/2014).
Indeks dolar AS telah menguat sekitar tujuh persen pada tahun ini. Sementara The Fed tengah bersiap mengakhiri aksi tapering, yang membuatpara pelaku pasar di berbagai negara harap-harap cemas karena ketika aksi tapering selesai maka The Fed akan menaikkan suku bunga.
Beberapa analis khawatir adanya pengulangan gejolak dampak tapering seperti saat The Fed mulai mengumumkan penarikan dana stimulusnya pada pertengahan tahun lalu. Akibat pengumuman tersebut aksi jual dana asing secara brutal menimpa aset-aset di negara berkembang.
"Saya harap penguatan dolar akan menyesuaikan inflasi AS, menunda kebijakan tapering The Fed dan meningkatkan ekspor ke US," kata Marcussen.
Untuk menunda kenaikan suku bunga The Fed, nilai tukar euro harus jatuh ke level US$ 1,1 per euro sementara dolar harus terus menguat ke level 120 yen per dolar AS dan 6,5 yuan per dolar AS. Hingga saat ini, euro telah berada di kisaran US$ 1,269 per euro dan dolar bertengger di 109,4 yen dan 6,1495 yuan.
"Dengan skenario tersebut, penguatan dolar akan mendorong penarikan dana asing ke luar negara berkembang dalam jumlah lebih besar, memberikan tekanan yang lebih berat bagi negara-negara berkembang," terangnya.
Meski begitu, beberapa analis tidak melihat adanya gangguan ekonomi di negara berkembang yang disebabkan penguatan dolar tapi lebih karena kebijakan Bank Sentral AS. Sejumlah ekonom Citigroup mengatakan, pihaknya tidak melihat adanya risiko besar dari penguatan dolar yang kini tengah terjadi. (Sis/Gdn)
Penguatan Dolar Lebih Berbahaya Dibanding Aksi Tapering The Fed
Prancis Societe Generale mengungkapkan, penguatan dolar dapat menjadi risiko yang lebih besar dibanding skenario tapering The Fed.
diperbarui 30 Sep 2014, 11:25 WIBDiterbitkan 30 Sep 2014, 11:25 WIB
Advertisement
POPULER
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Berita Terbaru
7 Fakta Penangkapan Gubernur Bengkulu oleh KPK, Barang Bukti Rp7 Miliar
Apa itu Folktale: Mengenal Cerita Rakyat yang Melegenda
Teguh Setyabudi Minta Aparat Keamanan Antisipasi Gangguan Pilkada Jakarta
Aturan Masa Tenang Pilkada 2024, Apa yang Harus Dilakukan dan Dihindari serta Ketahui Sanksinya Jika Melanggar
6 Potret Justin Hubner Bareng Ibunda, Sang Ibu Disebut Mirip Taylor Swift
Menu Sarapan Praktis dan Sehat yang Cocok untuk Diet
Profil Athina Papadimitriou, Keponakan Sandiaga Uno Calon Istri Mantan Pembalap Rio Haryanto
15 Tips Copywriting Ampuh untuk Meningkatkan Konversi dan Penjualan
ShopeePay Raih Penghargaan 'Best of 2024' dari Google Play
Tanggapi Pemberitaan Pemindahan Napi WNA, Menteri Hukum Nyatakan Masih dalam Kajian
Begini Cara Agar Tidak Lelah di Hari Senin, Supaya Tidak Kena Monday Blues
Diaspora Indonesia di Australia Manfaatkan Kekurangan Guru Sebagai Peluang Karier