Digugat Lagi, RI Ogah Renegosiasi Kontrak dengan Newmont

Pemerintah mengancam akan menghentikan amandemen kontrak yang saat ini sedang dalam proses kesepakatan dengan Newmont.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 03 Nov 2014, 10:23 WIB
Diterbitkan 03 Nov 2014, 10:23 WIB
Gugatan Arbitrase Newmont
Arbitrase Newmont

Liputan6.com, Jakarta - Setelah mencabut tuntutan arbitrase, pihak PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) kembali mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Menanggapi hal itu, pemerintah mengancam akan menghentikan amandemen kontrak Newmont yang saat ini sedang dalam proses kesepakatan.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian (ESDM) R Sukhyar meminta gugatan tersebut harus segera dicabut. Pasalnya saat ini pihak Newmont sedang dalam proses amandemen kontrak dan hal tersebut bisa dihentikan jika ada gugatan yang diajukan.

"Saya minta PT NNT mencabut gugatan. Kita hold amandemen kalau tidak dicabut," kata Sukhyar, seperti yang ditulis di Jakarta, Senin (3/11/2014).

Menurut Sukhyar, setiap perusahaan harus mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah. Karena itu, perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut tidak bisa melakukan gugatan seenaknya.

"Masak ada perusahaan menentang atau mengancam pemerintah," tuturnya.

Seperti diketahui, pada tanggal 23 Oktober 2014 lalu, salah satu pemegang saham PT NTT dari PT. Pukuafu Indah, Dr. Nunik Elizabeth Merukh, melalui kuasa hukumnya melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan diberlakukannya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara (Minerba).

Direktur PT Pukuafu itu menggugat pasal 169 tentang perubahan kontrak karya menjadi IUP PK, dan pasal 170 tentang kewajiban melakukan pemurnian sebagaimana yang telah dimaksud dalam pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya undang-undang Minerba disahkan.

Dalam gugatannya, kuasa hukum Nunik berdalih bahwa perubahan kontrak karya menuju IUP PK telah bertentangan dengan kesepakatan kontrak atau perjanjian yang telah dibuat oleh berbagai pihak beberapa tahun lalu, selain itu kewajiban melakukan pemurnian sebelum diekspor merupakan kebijakan yang berdampak pada kerugian perusahaan.

Selain itu, pihak penggugat juga menilai kebijakan pemerintah tersebut telah bertentangan dengan UUD 1945, dan kebijakan tersebut adalah kebijakan harus melakukan pemurnian dan pengelolahan terlebih dahulu di dalam negeri itu tidak termasuk dalam materi muatan dalam kontrak karya yang telah disetujui pemerintah sejak tahun 1986. (Pew/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya