Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan ekonomi yang diterapkan Donald Trump selama masa pemerintahannya memiliki dampak besar terhadap ekonomi global, termasuk Indonesia. Menurut Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Chatib Basri, ada tiga kebijakan utama Trump yang berpotensi mengguncang stabilitas keuangan dunia.
Kebijakan Tarif
Chatib menjelaskan, kebijakan tarif yang diterapkan Donald Trump terhadap berbagai produk impor berdampak langsung pada industri manufaktur di Amerika Serikat (AS). Ini karena, 52 persen dari bahan baku dan bahan modal industri AS berasal dari impor.
Baca Juga
"Jika tarif dinaikkan entah 10%, 25%, atau berapa persen pun, itu akan membuat biaya produksi akan meningkat,” kata Chatib dalam pemaparannya pada acara SMBC Indonesia Economic Outlook 2025, Selasa (18/2/2025).
Advertisement
Chatib menuturkan dampak pertama yang akan terjadi akibat hal ini adalah kondisi inflasi AS yang tinggi. Inflasi yang tinggi ini membuat The Federal Reserve (The Fed) atau bank sentral AS akan kesulitan menurunkan suku bunga.
Dalam pertemuan di World Economic Forum di Davos, Chatib mendiskusikan hal ini dengan para ekonom dunia, termasuk mantan Menteri Keuangan AS, Larry Summers.
Chatib bilang, konsensus yang ada saat itu, Larry mengatakan ini mungkin kondisi yang paling pesimistis di dalam kondisi di AS. Saat itu Larry mengatakan dirinya tidak terlalu terkejut ketika ketua The Fed, Jerome Powell menyatakan tidak banyak ruang untuk The Fed menurunkan suku bunga.
Pemotongan Pajak (Tax Cut)
Kebijakan kedua yang diterapkan Trump adalah pemotongan pajak besar-besaran (tax cut). Chatib menuturkan implikasi dari kebijakan ini adalah defisit anggaran AS akan meningkat.
"Untuk menutupi defisit ini, pemerintah AS harus menerbitkan lebih banyak obligasi (bond), yang berarti peningkatan supply obligasi, maka harganya turun dan yield naik. Dalam kondisi ini akan sulit untuk The Fed menurunkan suku bunga,” tutur Chatib.
Deportasi
Trump juga memperketat kebijakan imigrasi dengan mendeportasi pekerja undocumented (tanpa dokumen resmi). Chatib mengungkapkan, sebagian besar posisi yang disebut dengan unskilled worker di AS didominasi oleh mereka yang disebut dengan undocumented worker.
"Kalau kemudian kelompok ini dideportasi maka harus diisi yang tingkat upahnya lebih tinggi. Ini akan membuat Inflasi di AS akan meningkat karena pasar tenaga kerja supply nya berkurang,” ujarnya.
Ketika mereka dipulangkan, industri di AS harus mencari tenaga kerja baru dengan upah yang lebih tinggi, yang pada akhirnya kembali memicu kenaikan inflasi.
Advertisement
Dampak ke Indonesia: Rupiah Tertekan, Opsi Kebijakan Terbatas
Dengan suku bunga AS yang tinggi, Chatib mengatakan nilai tukar dolar terhadap rupiah semakin menguat, seperti yang sudah terlihat saat ini dengan kurs rupiah sekitar Rp 16.300 per Dolar AS.
Menurut Chatib, Bank Indonesia (BI) sebenarnya bisa menurunkan suku bunga, namun, jika BI menurunkan suku bunga sementara The Fed tetap tinggi, rupiah bisa semakin melemah.
"Dalam kondisi ini, saya tidak melihat ruang yang terlalu besar untuk monetary policy. Karena secara praktis, monetary policy kita akan didikte bukan hanya Indonesia tapi negara di dunia akan didikte oleh The Fed, karena implikasinya pada nilai tukar,” kata Chatib.
Di sisi fiskal, Chatib menilai dengan tingkat bunga yang relatif tinggi dan nilai tukar pelemahan maka ruang fiskal akan terbatas. Sehingga dalam konteks ini Chatib tidak melihat ruang fiskal yang terlalu banyak.
"Maka satu-satunya yang bisa dilakukan untuk mempertahankan growth atau mengejar growth lebih tinggi adalah dengan structurally form," ujar dia.
Peluang Indonesia di Tengah Ketidakpastian Global
Meski kondisi global penuh ketidakpastian, Indonesia bisa mengambil keuntungan dari perang dagang antara AS dan China. Saat perusahaan global mencari alternatif lokasi produksi di luar China untuk menghindari tarif tinggi dari AS, Indonesia bisa menjadi tujuan investasi baru.
Vietnam selama ini menjadi pesaing utama Indonesia dalam menarik investasi, namun ada peluang besar bagi Indonesia untuk menang. Trade surplus Vietnam dengan AS mencapai USD 118 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia yang hanya USD 19 miliar.
Jika Trump menargetkan negara dengan surplus perdagangan tinggi, Vietnam akan lebih dulu terkena imbas kebijakan AS, sehingga perusahaan-perusahaan dapat mempertimbangkan pindah ke Indonesia.
"Ini bukan karena Indonesia negara yang sempurna, tapi karena investor perlu mendiversifikasi risiko mereka. Jika risiko di China terlalu besar, mereka harus mencari alternatif," pungkas Chatib.
Advertisement
