Buruh Tolak Larangan Rapat di Hotel

Larangan PNS Rapat di hotel berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi terutama dari sektor pariwisata.

oleh Septian Deny diperbarui 18 Feb 2015, 10:25 WIB
Diterbitkan 18 Feb 2015, 10:25 WIB
PNS
Ilustrasi (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Massa buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak aturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) terkait larangan bagi Kementerian dan Lembaga untuk melakukan rapat di hotel.

Presiden KSPI, Said Iqbal mengatakan, larangan tersebut berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi terutama dari sektor pariwisata yang selama ini menjadi salah satu penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi.

"Untuk itu kami menuntut Menteri PAN-RB mencabut Permen tersebut dan membuat aturan yang lebih flexibel dan memperbolehkan Pengawai Negeri Sipil (PNS) dapat rapat di hotel sesuai kebutuhannya tanpa harus boros," ujarnya di Jakarta, Rabu (18/2/2015).

Menurut Iqbal, seharusnya sebelum mengeluarkan aturan tersebut, Menteri PAN-RB Yuddy Krisnadi terlebih dahulu mempertimbangkan efek dari sebuah aturan sehingga tidak membuat banyak kerugian. "Jadi buat apa ada aturan kalau membuat lapangan kerja menjadi semakin sempit," tandasnya.

Seperti diketahui, Kementerian PAN-RB telah menerbitkan surat edaran Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pembatasan Kegiatan Pertemuan atau Rapat di Luar Kantor.

Dengan adanya surat edaran ini, kementerian dan lembaga tidak lagi boleh menggelar rapat di hotel seperti yang selama ini kerap dilakukan. Tujuannya, agar bisa mengoptimalkan ruangan di kementerian dan lembaga sekaligus menghemat anggaran belanja.

menurut Yuddy, aturan pembatasan rapat di luar kantor bagi PNS karena masih maraknya penyalahgunaan anggaran negara. Bahkan, berdasarkan catatan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah terjadi penyalahgunaan anggaran mencapai 30 persen. Total pemborosan dari rapat di hotel-hotel tersebut mencapai hingga Rp 5,122 triliun.

"Tidak hanya itu, ada banyak laporan dari manajer-manajer perhotelan mengenai pola pembukuan yang berganda," terang dia.  Yuddy pun mencontohkan, jika peserta rapat yang hadir sebenarnya hanya 50 orang, namun yang tertulis dalam pembukuan menjadi 100 orang. Selain itu, jika harga satu kamar hanya Rp 450 ribu maka akan di-mark up menjadi Rp 600 ribu.

Dampak aturan
Aturan yang baru ada di pemerintahan Presiden Joko Widodo ini ternyata sangat berdampak kepada bisnis perhotelan nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya penurunan tingkat hunian kamar (TPK) di hotel berbintang. Pada Desember 2014, tingkat hunian kamar hotel mengalami penurunan sebesar 5,6 (year on year) poin menjadi rata-rata 50,13 persen.

Pada desember 2013, TPK hotel berbintang mencapai 55,73 persen. Begitu pula jika dibandingkan dengan TPK hotel berbintang pada November 54,45 persen, TPK hotel berbintang di Desember 2014 turun 4,32 poin. "Dugaannya karena adanya pembatasan rapat di hotel oleh pemerintah," kata Kepala BPS Suryamin

BPS mencatat TPK hotel berbintang tertinggi pada Desember 2014 tercatat di Yogyakarta sebesar 65,22 persen, diikuti Lampung 61,38 persen dan Kalimantan Timur 58,63 persen. Sedangkan TPK terendah tercatat terjadi di Sulawesi Tenggara sebesar 31,18 persen.

Penurunan TPK hotel berbintang pada Desember 2014 dibanding Desember 2013 terjadi di sebagian besar provinsi, dengan penurunan tertinggi terjadi di Sulawesi Tenggara, dan penurunan terendah di Sumatera Utara. (Dny/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya