Pelemahan Rupiah Tak Bikin Omzet Penjualan Handphone Turun

Indonesia pernah mengalami pelemahan nilai tukar hingga level Rp 18 ribu per dolar AS.

oleh Septian Deny diperbarui 15 Mar 2015, 10:05 WIB
Diterbitkan 15 Mar 2015, 10:05 WIB
Rupiah
Rupiah (Antara Foto)

Liputan6.com, Jakarta - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dinilai belum mempengaruhi omzet penjualan telepon seluler di dalam negeri meskipun sebagian besar telepon seluler yang dijual di Indonesia merupakan produk  impor.

Ketua Asosiasi Pedagang dan Importir Telepon Genggam (ASPITEG), Alie Cendrawan mengatakan, belum terpengaruhnya penjualan telepon seluler di dalam negeri karena pelemahan rupiah yang terjadi dalam beberapa pekan ini dianggap masih dalam batas normal. Sejak awal tahun hingga Maret ini, pelemahan nilai tukar rupiah berada di kisaran 6 persen.

Menurut Alie, kebiasaan masyarakat Indonesia yang suka gonta-ganti telepon seluler setiap ada model yang baru juga menjadi salah satu penyebab penjualan telepon seluler belum terlalu terganggu pelemahan rupiah. Menurutnya, untuk telepon seluler model baru, meski harganya naik akibat pelemahan rupiah, namun tetap banyak dicari oleh konsumen.

"Untuk produk baru, penjualan tidak pengaruh, karena orang tetap kan kejar, karena orang kan penasaran. Contohnya Iphone+, di luar negeri paling harganya SG$ 1.100 hingga SG$ 1.250, tapi pada saat launching bisa mencapai SG$ 2.500 hingga SG$ 3.000, tapi ada juga yang beli. Ini kan hukum dagang," jelasnya.



Bahkan Alie menyatakan Indonesia pernah mengalami pelemahan nilai tukar hingga level Rp 18 ribu per dolar AS. Saat itu pedagang telepon seluler di dalam negeri masih mampu bertahan. "Kita malah pernah kan mengalami sampai Rp 18 ribu. Malah pada saat itu stoknya banyak, jadi kami bisa kirim ke luar," tandasnya.

Meskipun pelemahan rupiah belum banyak berpengaruh ke sektor rill, Bank Indonesia (BI) tetap mencoba berbagai cara agar rupiah tidak tertekan terus menerus. BI mengaku telah menyiapkan beberapa kebijakan untuk menekan defisit transaksi berjalan dalam rangka stabilisasi makro ekonomi Indonesia. Kebijakan ini menyusul 8 paket kebijakan ekonomi yang dirumuskan pemerintah Joko Widodo (Jokowi).

Gubernur BI, Agus Martowardojo mengaku, BI akan fokus menjaga stabilitas ekonomi makro Indonesia secara waspada (cautions) dan kebijakan bias ketat. "Kebijakan BI mengarah pada defisit transaksi berjalan lebih sehat ke level 2,5 persen sampai 3 persen. Secara moneter bias ketat untuk menjaga stabilitas ekonomi, inflasi supaya mencapai target tahun ini 4 plus minus 1 persen," kata dia.



Agus meyakinkan, BI akan menjaga stabilitas ekonomi makro Indonesia dengan cadangan devisa (cadev). Cadev Indonesia per Februari 2015 tercatat Rp 115,5 miliar atau 6,5 bulan impor yang menunjukkan ekonomi Indonesia dalam keadaan membaik. (Dny/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya