Pengamat Ramal Rupiah Bisa Tembus 14.000 per Dolar AS

Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) diimbau untuk mengatasi defisit neraca transaksi berjalan sehingga dapat stabilkan rupiah.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 16 Mar 2015, 13:44 WIB
Diterbitkan 16 Mar 2015, 13:44 WIB
Nilai Rupiah Terus Terpuruk
Petugas menghitung mata uang AS di penukaran valas Ayu Masagung, Jakarta, Senin (9/3/2015). Pada awal perdagangan rupiah dibuka pada level 12.994 atau melemah 18 poin dibanding penutupan akhir pekan lalu di posisi 12.976. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah semakin tak kuasa melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga harus tertekuk ke level Rp 13.237. Level ini disebut-sebut sudah jauh dari fundamental rupiah dan berpotensi jatuh lebih dalam sampai menembus Rp 14.000 per dolar AS.

Pengamat Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam, mengatakan, volatilitas kurs rupiah yang mencapai 6 persen lebih, seharusnya berada pada level fundamental di kisaran Rp 12.400-Rp 12.500 per dolar AS. Sementara pada tahun lalu, rupiah ada di angka Rp 11.800 per dolar AS.

"Tapi karena sentimen saat ini sulit diukur karena faktor internal dan global, maka bisa saja kurs rupiah mencapai level Rp 13.500 per dolar AS, bahkan Rp 14.000 per dolar AS," kata dia kepada Liputan6.com, Jakarta, Senin (16/3/2015).

Lebih jauh menurut Latif, rapor merah pada defisit neraca transaksi berjalan 2,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) sangat mengganggu ekonomi Indonesia. Inilah pekerjaan rumah pemerintah dan Bank Indonesia (BI) yang harus segera diselesaikan.

Faktor lain di luar domestik, lanjut dia, paling signifikan datang dari aksi lihat dan tunggu (wait and see) investor terhadap kebijakan The Federal Reserve yang akan menaikkan suku bunga acuan.

"Belum ada kejelasan kapan akan dinaikkan, ada yang bilang kuartal akhir dan pertengahan tahun ini, jadi tidak bisa dikontrol. Ini yang bikin volatilitas rupiah semakin tinggi," papar Latif.

Kebijakan Gubernur Bank Sentral AS, Janet Yellen dianggap Latif, penuh ketidakpastian karena gaya kepemimpinan wanita ini yang kurang transparan. Dia menjelaskan, gaya kepemimpinan tersebut sangat berbeda dengan pendahulunya Ben Bernanke.

"Bernanke dalam setiap kebijakannya transparan. Kalau 3 bulan lagi akan dilakukan, maka diumumkan, jadi sudah pada price in. Sementara Yellen berbeda, sehingga menambah ketidakpastian dalam kebijakan kenaikan Fed Fund Rate dan normalisasi quantitative easing," tutur dia.

Latif menerangkan, persoalan penguatan dolar AS terletak pada ketidakpatuhan pelaku usaha dalam penggunaan mata uang rupiah di dalam negeri. Padahal sudah ada Undang-undang (UU) Mata Uang yang mengaturnya.

"Banyak hotel di Bali, pusat belanja elektronik dan barang lain, arisan yang pakai dolar AS di Indonesia. Karena jika ada penegakan hukum maka dampaknya bisa langsung untuk mengurangi volatilitas rupiah," pungkas Latif.

Seperti diketahui, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), rupiah berada di level tertinggi 13.237 per dolar AS pada Senin pekan ini. (Fik/Ahm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya