Ini Dia Barang yang Paling Banyak Dibajak

Namun Kementerian Hukum dan HAM menyatakan jumlah pemalsuan produk atau menjiplak relatif menurun.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 09 Apr 2015, 14:50 WIB
Diterbitkan 09 Apr 2015, 14:50 WIB
Pedagang Pasar Senin: Ini Bukan Baju Bekas Tapi Sisa ekspor
Untuk mendatangkan baju-baju tersebut paling tidak menghabiskan biaya Rp 3 juta per ball atau setara dengan 250 baju.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Hukum dan HAM menyatakan pembajakan barang kerap terjadi pada produk fashion. Lantaran, produk fashion tidak berisiko tinggi pada konsumen. Hal itu berbeda seperti obat-obatan, yang mana jika dibajak akan berdampak pada konsumen seperti keracunan.

Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Ahmad M Ramli mengatakan, produk seperti tas dan baju menjadi sasaran empuk para pemalsu.

"Saya menduga mungkin tas, yang tidak berisiko, kemudian baju," kata dia di Jakarta, Kamis (9/4/2015).

Namun begitu, dia mengklaim jumlah pemalsuan produk atau menjiplak relatif menurun. Hal itu  sejalan dengan insentif pemerintah terkait penggratisan merk. "Sekarang mulai turun, karena kita mendorong mendaftarkan merk dan kita gratiskan. Itu tiga tahun kita lakukan," ujarnya.

Pihaknya pun mengimbau supaya pelaku usaha menciptakan merk produk sendiri. Tak perlu khawatir tidak laku, produk dengan merk sendiri tidak berisiko terhadap hukum.

"Sebelumnya pakai merk Zara Giordino. Dia merasa untung paling sekali dua kali berurusan, saya sampaikan UKM  jangan membajak. Dengan bajak bunuh diri, membuat bisnis tak bisa berkembang, bikin merk sendiri, merknya gaya-gayaan," tandas dia. (Amd/Nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya