Liputan6.com, Makassar - Masa panen menjadi momen paling dinanti masyarakat yang hidupnya masih menggantungkan pada usaha pertanian. Seperti masyarakat di Dusun Moncongloe Desa Moncongloe Lappara, Kecamatan Moncongloe, Kabupaten Maros yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani.
Satu hal menarik dari dusun ini, bukanlah hasil tani yang mereka berhasil tuai tiap tahunnya. Namun bagaimana mereka mempertahankan tradisi leluhur saat panen raya yang disebut dengan Tumbuk Lesung.
Tumbuk lesung atau bahasa daerahnya Akdengka Ase Lolo merupakan salah satu ritual dalam pesta panen di Dusun Moncongloe Lappara, Desa Moncongloe Lappara.
Ritual itu pun tak berdiri sendiri, peringatan pesta panen sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang digelar masyarakat Moncongloe semakin marak dengan adanya acara adu betis atau yang mereka sebut sebagai Mappalanca.
Advertisement
Peserta yang terlibat dalam adu betis tak merasakan sakit. Mereka justru kian bersemangat mengadukan betisnya diiringi bunyi-bunyian merdu yang dihasilkan dari Tumbuk Lesung.
“Mappalanca merupakan tradisi turun-temurun sekaligus sebagai permainan rakyat yang biasa dilakukan setelah masa panen,” jelas Profesor Abu Hamid, Akademisi Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Sabtu (16/5/2015).
Masa tanam padi berlangsung antara Desember sampai Juni. Penduduk Moncongloe Lappara umumnya memanen padi sekitar bulan Juli.
Nah, pada masa inilah ritual pesta panen berlangsung. Tepatya pesta panen biasanya diselenggarakan setiap bulan Agustus.
"Pesta Panen sebagai rasa syukur sekaligus untuk tolak bala. Tujuannya berharap kejadian buruk di masa-masa mendatang tidak akan terjadi,” ungkap Pemangku Adat Moncongloe Lappara, Haji Gendra.
Suasana terasa lebih meriah karena perayaan pesta juga dalam rangka memperingati HUT kemerdekaan RI.
Dalam Pesta Panen, selain ada aksi adu betis dan sepak takraw atau Paraga, ada juga acara Tumbuk Padi Muda atau bahasa adat menyebutnya Akdengka Ase Lolo.
Akdengka Ase Lolo tak hanya dilakukan gadis-gadis muda yang menumbuk lesung sehingga menimbulkan bunyi-bunyian merdu dan berirama, tetapi pria-pria muda pun ikut andil larut dalam ritual itu.
Dendangan alu-alat yang terbuat dari balok kayu yang ditumbukkan ke lesung- menghasilkan irama bunyian yang sangat merdu di telinga.
"Mereka wajib mengenakan busana adat. Perempuan mengenakan baju bodo aneka warna. Begitupun yang laki-laki, mengenakan jas warna-warni, songkok dan sarung ," terang Gendra.
Tradisi pengungkapan rasa syukur tersebut melibatkan semua penduduk Moncongloe Lappara bahkan untuk urusan pendanaan, mereka pun bergotong royong. Gabah-gabah dikumpulkan, begitu juga uang. Pemberian ini bersifat sukarela hingga dana terkumpul.
Tradisi pesta panen terus berlangsung tiap tahunnya.Masing-masing penduduk membawa hasil panen mereka, minimal dua piring beras ketan atau disebut Songkolo.
Acara dimulai dari sekitar kompleks Makam Ayah Syech Yusuf, pejuang syiar Islam di Sulawesi Selatan yang digelar dengan nama Gallarang Moncongloe. Seluruh makanan itu lalu dibawa ke makam Gallarang Moncongloe yang sekaligus menjadi lokasi beradu betis berlangsung.
"Piring-piring digelar. Bungkusan makanan dibuka. Lalu penduduk makan bersama menikmati hasil panen yang berlangsung di area kompleks makam leluhur Gallarang Moncongloe," kata Sirajuddin, penduduk Moncongloe Lappara.
Makanan yang dihidangkan, salah satunya yang paling menonjol adalah hidangan padi muda yang rasanya manis karena dicampur gula.
Dan pada saat pesta berlangsung, semua penduduk menyiapkan makanan. seluruh pintu rumah penduduk dibiarkan terbuka lebar untuk siapa saja yang datang, tentunya tamu-tamu dipastikan tak bakal kelaparan. (Eka/Nrm)