RI Bisa Tiru Singapura dan Malaysia Soal Dwelling Time

Waktu bongkar muat (dwelling time) kontainer memberi efek domino dalam proses distribusi barang ke masyarakat.

oleh Audrey Santoso diperbarui 01 Agu 2015, 17:27 WIB
Diterbitkan 01 Agu 2015, 17:27 WIB
20150728-Truk Peti Kemas Tertahan di Gerbang JICT-Jakarta
Truk peti kemas tertahan di gerbang pintu masuk JICT, Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (28/7/2015). Kegiatan distribusi barang dan peti kemas dari dan ke pelabuhan lumpuh akibat aksi mogok pekerja JICT. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha yang tergabung dalam Indonesia National Ship Owner Association (INSA) menyarankan pemerintah meniru sistem penyusunan perizinan bongkar muat peti kemas di pelabuhan dari negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Pasalnya selama ini, proses bongkar muat di Indonesia memiliki selisih waktu tiga hari lebih lama dari kedua negara tersebut.

"Kalau bingung (dengan percepatan proses perijinan), kita (Indonesia) co paste saja deh peraturan di negara tetangga. Bagaimana caranya Singapura (proses bongkar muatnya) bisa satu hari, bagaimana Malaysia bisa 2,2 hari. Kita jangan malu," ujar Ketua INSA Carmelia Hartoto dalam satu diskusi di Jakarta, Sabtu (1/8/2015).

Pasalnya, Carmelia menilai waktu bongkar muat (dwelling time) kontainer memberi efek domino dalam proses distribusi barang ke masyarakat sehingga menimbulkan kerugian rata-rata 30 persen dari harga barang yang diimpor para pengusaha.

"Cost di lapangan sebesar 30 persen dari harga barang dalam proses distribusinya. Mulai dari dwelling time hingga tersendatnya distribusi di jalan. Secara keseluruhan pengusaha harus mengeluarkan sebesar itu," ujar Carmel.

Kapolda Tito sebelumnya menuturkan proses perizinan bongkar muatan kontainer di Tanjung Priok, Jakarta Utara selama ini melibatkan 18 kementerian.

Di mana seharusnya masing-masing kementerian menempatkan staf di pelabuhan untuk melakukan sistem pelayanan satu atap guna memudahkan perusahaan mengurus surat perizinan.

Pada kenyataannya, jelas Tito, tidak ada perwakilan masing-masing kementerian, hingga akhirnya perusahaan harus berkeliling ke tiap kantor kementerian untuk mengurus surat izin bongkar muatan.

"Ada yang namanya pre clearance yang meliputi kegiatan perizinan. Orang mau impor itu harus ada izinnya. Yang kedua adalah kegiatan clearance yang ada di Bea Cukai. Yang ketiga adalah post clearance untuk mengeluarkan barang yang sudah dinyatakan clear. Problem yang kita lihat paling lama ada di pre clearance. Otomatis kami melihat di pre clearance ini ada apa masalahnya dengan sistemnya," terang Tito.

Hasilnya, dia mengaku ternyata sistem satu atap tersebut tidak berjalan. "Seharusya 18 instansi ada perwakilan dan juga tanpa dikenakan biaya. Cukup 1 hari (proses bongkar muatan) selesai. Tapi ini karena adanya di kantor masing-masing, tidak ada di Tanjung Priok, pengusaha jadi harus lari ke sana-kemari," sambung Tito.

Setelah mempelajari letak kelemahan pada sistem perizinan, Tim Satgas Dwelling Time mendapati kejanggalan antara oknum Dirjen Perdagangan Luar Negeri (Daglu) dan broker yang menjual jasa perizinan ke perusahaan importir. Jual beli surat izin bongkar muatan di Pelabuhan Tanjung mulai terendus aparat kepolisian.

"Ada oknum-oknum yang memanfaatkan, dalam arti untuk meminta uang. Ada yang meminta uang agar izinnya bisa (dikeluarkan) lebih cepat. Dan itu melibatkan beberapa calo. Kemudian ada juga beberapa pengusaha yang sudah tahu (perizinan) bisa dibayar, sengaja dia barangnya masuk dulu. Harusnya ada izin dulu baru barang masuk ke pelabuhan. Terjadi permainan seperti itu," pungkas Tito.(Aud/Nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya