Ini Biang Kerok Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi RI

Harga komoditas yang belum naik dan penyerapan anggaran pemerintah yang masih minim menjadi mendorong perlambatan pertumbuhan ekonomi RI.

oleh Agustina Melani diperbarui 10 Agu 2015, 18:59 WIB
Diterbitkan 10 Agu 2015, 18:59 WIB
Ilustrasi pertumbuhan Ekonomi
Ilustrasi pertumbuhan Ekonomi

Liputan6.com, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II 2015 tercatat 4,67 persen, atau turun dari realisasi kuartal sebelumnya yang berada di level 4,72 persen. Ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,7 persen hingga semester I 2015, turun dari periode sama tahun lalu sekitar 5,17 persen.

Ekonom BCA, David Sumual menuturkan, perlambatan ekonomi Indonesia itu dimulai dalam dua hingga tiga tahun lalu. Hal itu seiring perlambatan ekonomi global dan harga komoditas turun. Padahal sebagian besar ekspor Indonesia komoditas. "60 persen ekspor Indonesia adalah komoditas jadi harga komoditas turun turut pengaruhi ekonomi Indonesia," ujar David saat dihubungi Liputan6.com, Senin (10/8/2015).

David menilai, Indonesia tidak pernah belajar dari pengalaman sebelumnya terutama saat harga komoditas melonjak. Indonesia dinilai terlena dengan harga komoditas tinggi, sehingga giat ekspor sumber daya alam, dan tidak memberikan nilai tambah terhadap ekspor itu.

"Indonesia alami booming minyak pada 1970, lalu pada 1980 harga minyak turun kita mengalami devaluasi. Saat itu juga booming hutan tetapi tidak bisa dimanfaatkan. Lalu pada 2008-2013 booming komoditas, ini mirip-mirip tetapi Indonesia seperti jatuh lubang yang sama," kata David.

Karena itu, David menilai, Indonesia belum memiliki perencanaan ekonomi terintegrasi dan tak memiliki struktur bagus. Contoh saja Masterplan Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) kini sudah jarang terdengar gaungnya. David menilai, pemerintah tidak konsisten untuk menerapkan konsep pembangunannya.

"Jadi perlu perencanaan jangka panjang yang diatur dalam Undang-undang jadi tidak seenaknya diubah-ubah. Saat ini ganti pemerintahan ganti kebijakan," ujar David.

Selain itu, David mengatakan, Indonesia perlu mencari sumber pertumbuhan baru untuk mendukung ekonomi ke depan. Ekspor komoditas kini tidak dapat menjadi andalan di tengah harga komoditas tertekan. Indonesia harus menciptakan industri manufaktur sehingga tidak mengandalkan impor. "Ekspor manufaktur baru dapat terasa tiga hingga empat tahun lagi," kata David.

Faktor Utama Tekan Pertumbuhan Ekonomi

Sejumlah faktor baik internal dan eksternal mempengaruhi ekonomi Indonesia melambat tersebut. Faktor-faktor itu antara lain:

1. Harga komoditas turun mempengaruhi ekspor Indonesia

"Ekspor melemah seiring harga komoditas jatuh. Ekspor jatuh itu membuat pendapatan masyarakat terutama di daerah perkebunan, tambang menurun jadi daya beli masyarakat juga melemah," ujar Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro.

Berdasarkan data BPS, ekspor Indonesia turun 11,86 persen menjadi US$ 78,28 miliar selama periode semester I 2015 dari periode sama tahun sebelumnya US$ 88,82 miliar. Ekspor minyak dan gas bumi (migas) turun 36,34 persen menjadi US$ 9,98 miliar pada semester I 2015 dari periode sama tahun sebelumnya US$ 15,86 miliar. Ekspor non migas turun 6,62 persen menjadi US$ 68,30 miliar.

Sementara itu, impor turun 17,81 persen menjadi US$ 73,94 miliar sepanjang semester I 2015 dari periode saham tahun 2014. Kumulatif nilai impor terdiri dari impor gas turun 39,91 persen menjadi US$ 13,10 miliar dan non migas US$ 60,84 miliar atau turun 10,74 persen.

Harga minyak internasional tertekan juga turut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Harga minyak turun 43,3 persen secara year on year. Harga minyak berada di kisaran US$ 40 lebih per barel.

2. Realisasi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah Belum Optimal

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perbendaharaan, realisasi APBN semester I tahun anggaran 2015 antara lain belanja negara sekitar Rp 773,9 triliun atau 39 persen dari total pagu APBN-P 2015 sekitar Rp 1.984,1 triliun.

Kementerian keuangan mencatat penyerapan belanja pemerintah pusat sekitar Rp 436,1 triliun atau 33,1 persen dari pagu APBN-P 2015 sekitar Rp 1.319,5 triliun. Realisasi belanja pegawai mencapai 42,9 persen atau sekitar Rp 125,8 triliun dari total pagu sekitar Rp 293,1 triliun.

Belanja barang 25,1 persen atau sekitar Rp 60,1 triliun dari total pagu APBN-P 2015 sekitar Rp 238,8 triliun. Belanja modal, salah satu pengeluaran pemerintah yang diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi hanya mampu diserap sekitar Rp 30,2 triliun, atau 11 persen dari pagu APBN-P 2015 sekitar Rp 275,8 triliun.

Dorongan pertumbuhan ekonomi baru dari transfer ke daerah dan dana desar yang mencapai 50,8 persen dari Rp 337,7 triliun pada semester I 2015 dari pagu APBN-P 2015 sebesar Rp 664,6 triliun.

Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Keuangan, dana pemerintah daerah (pemda) yang masih terparkir di bank daerah mencapai sekitar Rp 273,5 triliun.

3. Rencana Kenaikan Suku Bunga Bank Sentral AS Tekan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS

Bank sentral Amerika Serikat (AS) akan menaikkan suku bunga acuannya. Hal itu membuat dolar AS menguat terhadap sejumlah mata uang negara berkembang termasuk nilai tukar rupiah. Untuk menaikkan suku bunga acuan, bank sentral AS mempertimbangkan data ekonomi AS. Saat ini spekulasi kalau bank sentral AS akan menaikkan suku bunga pada September 2015.

Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), dari awal tahun 2015 hingga 10 Agustus 2015, nilai tukar rupiah melemah 8,5 persen dari 12.474 per dolar AS menjadi 13.536 per dolar AS. Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS ini dinilai menekan daya beli masyarakat.

Hal itu juga mempengaruhi penjualan mobil, motor dan semen. Penjualan mobil turun 18 persen menjadi 525.458 unit hingga semester I 2015.

Data BPS pun menyebutkan pengeluaran konsumsi rumah tangga sebesar 4,97 persen pada kuartal II 2015 dari periode sama tahun sebelumnya sekitar 5,1 persen. David menuturkan, harga komoditas melemah telah berdampak terhadap konsumsi masyarakat. Padahal biasanya sektor konsumsi paling bertahan.

Pertumbuhan konsumsi masyarakat biasa 5-5,5 persen, David menuturkan, pertumbuhan konsumsi masyarakat hanya di bawah empat persen. "Daya beli masyarakat turun dilihat dari penjualan mobil, semen dan motor. Selama ini impor kita tinggi jadi ketika nilai tukar rupiah melemah jadi daya beli masyarakat melemah," kata Ekonom BCA, David Sumual.

4. Ekonomi China Melambat

Saat ini pertumbuhan ekonomi China berkutat di angkat 7 persen. Andry menuturkan, ekonomi China melambat membuat permintaan komoditas merosot. Hal itu juga turut mempengaruhi ekspor Indonesia yang juga sebagian besar komoditas.

Dengan melihat kondisi tersebut, Andry memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekitar 4,8 persen-5 persen pada akhir 2015. Pertumbuhan ekonomi itu akan ditopang dari realisasi belanja pemerintah dan konsumsi rumah tangga.

Pertumbuhan ekonomi tersebut pun sama dengan prediksi David. Realisasi belanja pemerintah dan daya beli masyarakat diharapkan dapat kembali stabil sehingga membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia."Pertumbuhan ekonomi 5,3 persen untuk semester II. Jadi akhir tahun bisa lima persen, dan juga bisa di kisaran 4,8 persen-5 persen. Belanja pemerintah dan konsumsi masih jadi penopangnya," kata David. (Ahm/Gdn)

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya