7 Pelanggaran RJ Lino di Mata Rizal Ramli

Pelanggaran paling berat yang menyangkut perpanjangan konsesi Jakarta International Container Terminal (JICT) ke perusahaan asal Hong Kong.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 29 Okt 2015, 18:33 WIB
Diterbitkan 29 Okt 2015, 18:33 WIB
20151029-Ungkap Kasus Pelindo II, Pansus Rapat Dengan Menko Rizal Ramli-Jakarta
Menko Kemaritiman Rizal Ramli (tengah) mengikuti Rapat Kerja (Raker) dengan Pansus Pelindo II di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (29/10). Raker tersebut membahas satgas dwelling time yang dibentuk oleh Menko Kemaritiman. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta- Dalam rapat Panitia Khusus (Pansus) Angket Pelindo II, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli buka-bukaan menguak 7 pelanggaran Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino.

Pelanggaran paling berat yang menyangkut perpanjangan konsesi Jakarta International Container Terminal (JICT) kepada perusahaan asal Hong Kong, Hutchison Port Holdings (HPH) ‎selama 20 tahun (2019-2039).

"Perpanjangan kontrak JICT dengan Hutchison tidak berdasarkan aturan, ini yang pertama. Seharusnya berakhir 27 Maret 2019, tapi perpanjangan dipercepat 2014. Ini tidak ada bedanya dengan kasus Freeport," tegas Rizal saat memberi keterangan dalam Rapat Pansus Angket Pelindo II, Gedung DPR Jakarta, Kamis (29/10/2015).

Pelanggaran kedua, kata Rizal, memperpanjang perjanjian tanpa melakukan perjanjian konsesi lebihh dulu dengan otoritas pelabuhan utama Tanjung Priok sebagai regulator. Artinya melanggar Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran pasal 82 ayat 4, pasal 92 dan pasal 344 ayat 1.

Ketiga, tidak mematuhi surat kepala kantor otoritas pelabuhan utama Tanjung Priok tentang konsesi. Kepala kantor otoritas telah memperingatkan RJ lino dengan surat tertanggal 6 Agustus 2014 agar tidak memperpanjang perjanjian sebelum memperoleh konsesi dari kantor otoritas pelabuhan utama Tanjung Priok.

Keempat, tidak mematuhi surat dewan komisaris Pelindo II. Komisaris utama Pelindo II, Luky Eko Wuryanto telah mengingatkan RJ Lino dengan surat tanggal 23 Maret 2015 agar melakukan revaluasi dan negosiasi ulang dengan HPH merevisi besaran up front fee.

Pelanggaran kelima, kata Rizal, melanggar prinsip transparansi dengan tidak melalui tender. Perpanjangan tidak dilakukan dengan tender terbuka sehingga harga optimal atau base value tidak tercapai. Sehingga bisa terkena tuntutan Post Bider Claim yang melekat dari peserta tender 1999.

Keenam, melanggar keputusan komisaris Pelindo II mengenai perlunya konsesi dan pendapat Jamdatun tidak tepat. Mengabaikan keputusan dewan komisaris Pelindo II yang ditandatangani komisaris utama Tumpak Hatorangan Panggabean pada 30 Juli 2015, yang intinya pendapat Jamdatun tidak tepat karena tidak mempertimbangkan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang masalah konsesi.

"Ketujuh, perpanjangan kontrak ini menimbulkan potensi kerugian negara. Karena harga jual lebih murah dimana pada periode 1999 saat perjanjian lama, up front fee payment US$ 215 juta+US$ 218 juta, sedangkan di tahun ini hanya US$ 215 juta saja," terang Rizal.

Dijelaskannya, justifikasi rendahnya nilai penjualan JICT. Berdasarkan Deutsch Bank (2014) Konsultan Keuangan Dirut Pelindo II, valuasi JICT senilai US$ 639 juta direvisi menjadi US$ 833 juta, up front fee US$ 215 juta dan saham HPH 49 persen.

Sedangkan berdasar FRI (2015) Konsultan Keuangan dan Dewan Komisaris Pelindo II, valuasi JICT US$ 854 juta, up front fee US$ 215 juta dan saham HPH 25 persen. (Fik/Ndw)

 
 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya