Liputan6.com, Surabaya - Rencana Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan mengubah 17 Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) menjadi Badan Layanan Umum (BLU) disambut baik pengusaha pelayaran bila tujuannya untuk meningkatkan pelayanan.
Meski demikian, klaim Menhub bahwa BLU bisa mewujudkan konsep tol laut dinilai terlalu dini.
"Kebijakan Menhub akan mengubah UPP menjadi BLU perlu didukung dalam kerangka peningkatan pelayanan. Namun jika upaya itu diklaim bisa mewujudkan konsep tol laut sebagaimana dimaksudkan pemerintahan Presiden Joko Widodo, nampaknya masih jauh," kata Lukman Ladjoni, praktisi usaha pelayaran di Surabaya, Kamis (4/2/16).
Â
Seperti diketahui, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dalam keterangannya pada Minggu 31 Januari 2016, mengatakan upaya mengubah UPP menjadi BLU diharapkan bisa meningkatkan pelayanan pelabuhan, dan dapat mendukung keinginan pemerintah mewujudkan tol laut.
Â
"Jika hal ini (BLU) sudah terbangun, maka konsep tol laut bisa terwujud," jelas Jonan dalam keterangannya.
Â
Menurut Ladjoni, istilah tol laut hendaknya tidak dimaknai secara sederhana. Masih banyak persoalan terkait transportasi laut yang perlu segera ditangani.
Â
Baca Juga
"Ini soal prioritas kebijakan. Menyulap UPP menjadi BLU itu bagus dan perlu didukung. Tapi itu saja tidak cukup," dia menambahkan.
Â
Persoalan tak terhenti pada fasilitas. Aspek sumber daya manusia (SDM) dinilai salah satu hal penting.
Â
"Jika BLU tidak diikuti perubahan mental dan budaya kerja SDM di masing-masing unit, maka yang terjadi nantinya bukan kualitas layanan yang diutamakan, tapi target pendapatan yang dikejar," imbuh dia.
Â
Begitu juga kualitas SDM di tingkat Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), terutama di level pimpinan. Seluruh elemen di pelabuhan maupun di KSOP harus mengutamakan aspek pelayanan dan sikap rasionalitas.
Â
"Spiritnya hanya satu, yakni menciptakan sistem logistik nasional yang efektif, efisien, dan berdaya saing. Sehingga dengan sendirinya pelaku usaha terbantu," katanya.
Â
Selama ini, kata Ladjoni, pelaku usaha banyak menanggung (beban) biaya akibat tidak adanya prioritas kebijakan dari pemerintah dalam menyelesaikan aneka persoalan. Misalnya dwelling time yang terkadang sampai berhari-hari, tarif Terminal Handling Charge (THC) yang tidak murah, dan antrian pemeriksaan Bea dan Cukai yang memakan waktu lama. Semua itu berkonsekuensi pada biaya yang menjadi beban pengusaha.
Â
Ini baru persoalan yang ada di darat, Â pada proses barang naik ke kapal. Begitu juga sebaliknya, saat barang turun dari kapal hingga ke depo peti kemas. Setiap keterlambatan pelayanan akan berkonsekuensi pada biaya. Adapula persoalan lain seperti antrian sandar kapal.(Dian Kurniawan/Nrm)