Liputan6.com, Jakarta - Kemiskinan yang terus meningkat membuat pemerintah kembali mengucurkan bantuan sosial. Program bantuan sosial kali ini diberi tajuk Program Keluarga Harapan (PKH).
Agar program itu berhasil, Wakil Presiden Jusuf Kalla menuturkan pentingnya untuk memiliki data valid, mengenai jumlah penduduk miskin di Indonesia. Data hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) harus disinergikan dengan data yang dimiliki kementerian-kementerian.
"Jadi harus satu jalur data, data itu di-sharing supaya jangan berbeda-beda data, tergantung kebutuhan," kata JK, di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
JK merinci, bantuan sosial ini berbeda tergantung dengan kemampuan dan kelas masyarakat. Mereka yang tergolong miskin akan mendapat bantuan uang atau conditional Cash transfer (CCT). Sementara yang berasal dari kelas menengah akan mendapat penguatan ekonomi. Oleh karena itu, data-data yang disusun juga harus tepat sasaran.
Baca Juga
"Otomatis sumber daya BPS kemudian dibagi di Depsos untuk bantuan sosial, tapi untuk bantuan pengembangan ekonomi juga ke (Kemenkop) UKM dan ke mana lagi itu," imbuh dia.
Dana untuk PKH, lanjut mantan Ketua Umum Golkar ini, berasal dari dana-dana tiap kementerian yang ada dan disinergikan kembali. Pada intinya, dana PKH bertujuan untuk meningkatkan konsumsi masyarakat.
"Kalau porsi dana itu bisa dari dana desa, keluarga harapan, raskin, itu semuanya, dan juga pengembangan KUR. Itu semua upaya kita untuk meningkatkan pengembangan masyarakat," tegas JK.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menambahkan pihaknya sudah melakukan simulasi untuk PKH. Sampai saat ini, bantuan tunai bagi penduduk Indonesia hanya berada di kisaran 10,5 persen. Sementara, di dunia bantuan serupa sudah sebesar 16-25 persen.
"Kita sudah punya simulasi 2016 seperti apa, 2017 seperti apa, 2018 seperti apa, kalau cakupan diperluas sekian, intervensi nilai sekian maka kemiskinan turun sekian dan gini rasio sekian sudah ada gambarannya," jelas Khofifah.
Dengan dana bantuan sosial yang makin besar diberikan pada publik, maka akan mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan atau gini ratio.
"Kita sudah punya contoh, sekarang inikan bari 10,5 persen yang nendang itukan 16-25 persenn jadi kita sudah mengajukan kalau misalnya negara memiliki kemampuan 13 persen angkanya sekian, negara punya kemampuan 16 persen angkanya sekian, kalau angkanya sekian coverage-nya sekian, kemiskinan turun sekian, gini rasio turun sekian," ujar dia.
"Kalau kita mau mengikuti pada nominal dunia, CCT itu yang nendang 16-25 persen, kita baru 10,5 persen, nanti kalau perbandingan Indonesia dibanding Pilipina, Meksiko, Brasil itu memang rendah sekali, tidak hanya pada nominalnya saja tetapi coverage populasinya rendah sekali, itu yang kemudian kita membuat simulasi 2016, 2017, 2018, ini kita kerja baktinya sudah 3 minggu," tandas Khofifah. (Silvanus/Gdn)