Perlu Kajian Mendalam untuk Terapkan Moratorium Gambut

Penghentian kegiatan budididaya di lahan gambut (moratorium) perlu dikaji lebiih lanjut.

oleh Zulfi Suhendra diperbarui 28 Jun 2016, 22:28 WIB
Diterbitkan 28 Jun 2016, 22:28 WIB
20150912-TNI Bantu Padamkan Kebakaran Lahan di Sumatera
Seorang petugas pemadam dari Kementerian Kehutanan Indonesia, bersama anggota TNI menyemprotkan air ke hutan lahan gambut di Parit Indah Desa, Kampar, Riau, Rabu (9/9/2015). Kebakaran lahan menyebabkan kabut asap di sejumlah wilayah. (REUTERS/YT Haryono)

Liputan6.com, Jakarta Penghentian kegiatan budididaya di lahan gambut (moratorium) perlu dikaji lebih lanjut. Pasalnya moratorium dinilai berpotensi mengganggu kepastian usaha.

Pakar hukum Lingkungan Universitas Parahyangan Daud Silalahi menilai, perlu proses panjang mulai dari kajian ilmiah yang menyeluruh (full sceintifiec review) dari semua sisi baik lingkungan maupun bisnis sebelum menyetop kegiatan budi daya di lahan gambut.

Kajian ilmiah tersebut juga harus dilakukan para pakar bereputasi internasional, serta keputusannya berlaku dan mempunyai model yang berlaku umum di dunia.

“Itu berarti, pemerintah tidak bisa langsung menetapkan bahwa keputusan untuk menghentikan kegiatan budidaya di lahan gambut sudah tepat dan bisa langsung dieksekusi jika belum melakukan kajian ilmiah yang menyeluruh,” kata Daud di Jakarta, Selasa (28/6/2016).

Menurut Daud, perusahaan-perusahaan yang dirugikan juga bisa mengajukan keberatan terhadap pemerintah jika ternyata kajian-kajian itu tidak dilakukan oleh para pakar bereputasi internasional di bidangnya.

”Kita tidak bisa melihat dunia ini lagi secara sempit, tetapi harus memakai kacamata global.”

Dalam kasus moratorium gambut, kata Daud, perusahaan sebenarnya bisa berargumentasi. Apalagi, kondisi yang ada tidak seperti yang dikhawatirkan.

Perusahaan perlu dilindungi karena mendapatkan hak-hak untuk berusaha di Indonesia dengan prosedur yang benar,” kata Daud.

Lebih jauh Daud mengungkapkan, konsep pembangunan berkelanjutan tidak hanya terfokus kepada lingkungan saja, namun harus mendukung pro pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja.

Menurut Daud, ada banyak variabel yang harus diperhatikan. Kalau hanya bicara lingkungan saja akan jomplang. Risiko lingkungan pasti ada dalam pengelolaan apa saja, tetapi keseimbangan antara kebutuhan manusia haru diprioritaskan.

Terpisah, Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Ricky Avenzora mengingatkan, moratorium tersebut merupakan wacana yang keliru.

“Moratorium justru merugikan Indonesia karena serapan tenaga kerja serta kontribusi besar bagi perolehan devisa akan berkurang," ujar Ricky.

**Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya