Sri Mulyani Sebut Pinjaman RI untuk Bayar Utang Masa Lalu

Data keseimbangan primer di RAPBN 2017 diproyeksikan defisit Rp 111,4 triliun.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 16 Agu 2016, 21:50 WIB
Diterbitkan 16 Agu 2016, 21:50 WIB
20160726- Sri Mulyani Bicara Pembangunan di Kampus UI-Jakarta- Helmi Fithriansyah
Managing Director World Bank, Sri Mulyani Indrawati saat memberi kuliah umum di kampus UI Depok, Selasa (26/7). Dalam paparannya ia menyebut Indonesia memiliki potensi dan mampu menjadi pelaku global yang disegani. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Ibarat gali lubang tutup lubang, begitulah kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di Indonesia. Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan utang pemerintah selama ini lebih banyak digunakan untuk membayar atau mencicil utang di masa lalu, bukan untuk kegiatan produktif.  

Hal ini ditunjukkan melalui data keseimbangan primer di RAPBN 2017 yang masih diproyeksikan defisit sebesar Rp 111,4 triliun akibat pendapatan negara lebih rendah dibanding belanja atau pengeluaran.

"Kita mengalami defisit keseimbangan primer Rp 111,4 triliun. APBN yang punya keseimbangan primer defisit dianggap APBN kurang sehat, jadi pengelolaan APBN harus hati-hati," kata Sri Mulyani di kantor pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (16/8/2016).

Ia menjelaskan, keseimbangan primer yang defisit menandakan pinjaman atau utang yang dilakukan untuk membayar bunga utang. "Indikator kita meminjam bukan untuk investasi, tapi untuk menservis utang masa lalu," ujar Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Pelaku usaha atau investor, bahkan pemerintah sebuah negara, diakuinya bukan hanya melihat postur APBN dari sisi defisit anggaran saja, tapi juga defisit pada keseimbangan primer. Harapannya defisit mendekati nol atau bahkan positif.

"Jadi jika kemampuan APBN justru menjadi predator karena tidak bisa mendanai belanja dari penerimaan, maka itu tanda-tanda kondisi APBN yang perlu diperbaiki," papar Sri Mulyani.

Indonesia, Ia menuturkan, harus mampu mengelola utang dengan tingkat suku bunga serendah mungkin berdasarkan inflasi. Kondisi ini berbeda dengan Amerika Serikat (AS) yang memiliki kemudahan berutang dengan suku bunga nol persen, dan Jepang yang menerapkan suku bunga negatif.

"Jadi ada negara yang pemerintahannya bukan bayar interest (bunga) kalau meminjam, malah dibayarin interest-nya oleh bond holders. Sedangkan Indonesia tidak punya kemewahan seperti itu, sehingga kita harus hati-hati dalam pengelolaan APBN kita," jelas Sri Mulyani.

Dari data Kementerian Keuangan, pemerintah mengalokasikan pagu anggaran pembayaran bunga utang sebesar Rp 221,4 triliun di RAPBN 2017. Jumlah ini lebih tinggi dibanding APBN Perubahan 2016 yang dipatok Rp 191,2 triliun.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan melaporkan total utang pemerintah pusat sampai dengan posisi Juni 2016 menembus Rp 3.362,74 triliun. Jumlah ini membengkak dari posisi utang bulan sebelumnya yang sebesar Rp 3.323,36 triliun. (Fik/Ahm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya