Pengusaha Kecewa BUMN Pilih Produk China Dibanding Lokal

Kadin Indonesia meminta Kementerian Perdagangan untuk lebih cerdas dalam bernegosiasi terkait perjanjian perdagangan bebas dengan China.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 20 Sep 2016, 11:33 WIB
Diterbitkan 20 Sep 2016, 11:33 WIB
Rakornas Kadin Indonesia Bidang Perdagangan dan Perindustrian dengan tema, “Pengembangan Industri Berbasis Sumber Daya Alam untuk Meningkatkan Daya Saing Industri dan Perdagangan Global”, Selasa, (20/9/2016).
Rakornas Kadin Indonesia Bidang Perdagangan dan Perindustrian dengan tema, “Pengembangan Industri Berbasis Sumber Daya Alam untuk Meningkatkan Daya Saing Industri dan Perdagangan Global”, Selasa, (20/9/2016).

Liputan6.com, Jakarta - ‎Pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan belanja modal Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Kementerian dan Lembaga banyak mengalir untuk pembelian produk jadi maupun bahan baku impor ketimbang produksi dari dalam negeri. Paling banyak impor dari China.

Hal ini disampaikan Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kadin Indonesia, Benny Soetrisno saat memberikan sambutan di acara Rakornas Bidang Perindustrian dan Perdagangan Kadin Indonesia.

"Banyak BUMN dan Kementerian dan Lembaga masih impor atau beli barang impor, khususnya China. Harusnya kan jangan impor, tapi beli produk dalam negeri karena kita sudah bisa buat kok," ujar Benny di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (20/9/2016).

Dalam hal ini, Benny meminta kepada Kementerian Perdagangan untuk lebih cerdas dalam bernegosiasi terkait perjanjian perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA) dengan sejumlah negara, termasuk China.

"Kementerian Perdagangan dalam melakukan diplomasi dagang harus lebih cerdas. Negosiasi FTA dengan China, pemerintah belum cerdas mana yang dibuka dan mana yang tidak, akhirnya kita yang menanggung risikonya. Jadi sebelum berunding, ajak pelaku usaha," jelas Benny. ‎

Deindustrialisasi

Deindustrialisasi

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kadin Indonesia Johnny Darmawan mengatakan,  gejala deindustrialisasi semakin nyata, hal ini ditandai makin turunnya kontribusi industri pengolahan non migas terhadap produk domestik bruto (PDB).

Datanya menunjukkan, kontribusi industri pengolahan non migas terhadap PDB masih tinggi sebesar 28,34 persen di 2004, tetapi pada tahun berikutnya terus mengalami penurunan sampai saat ini, yakni 2013 sebesar 21,03 persen, sebesar 21,01 persen di 2014 dan 2015 sebesar 20,84 persen.

"Gejala deindustrialisasi ini telah mengakibatkan meningkatnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sudah terjadi sejak beberapa tahun belakangan," tegas Johnny.

Menurutnya, sektor manufaktur menjadi kunci untuk menghindari deindustrialisasi, karena manufaktur yang kuat menjadi syarat untuk meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia. Transformasi ekonomi perlu dilakukan melalui peningkatan daya saing industri di pasar global.

"Strategi nasional perlu diarahkan untuk membangun industri yang berdaya saing tinggi, penciptaan nilai tambah domestik, serta berorientasi ekspor," jelasnya.

Sejalan dengan program pemerintah, Kadin mendukung upaya-upaya pemerintah yang terus menjalankan hilirisasi industri untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi, memperkuat struktur industri, menyediakan lapangan kerja serta peluang usaha di negeri sendiri.

"Tahun ini diproyeksikan akan menjadi titik balik ekonomi kita. Setelah terus menurun dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan kembali naik menembus level 5 persen," tutur Johnny.

Salah satu indikatornya adalah dana asing terus mengalir deras, mendorong penguatan rupiah, indeks harga saham, dan realisasi investasi Indonesia yang naik sekitar 15 persen dari tahun lalu atau diikuti dengan penyerapan tenaga kerja yang juga meningkat.

Ke depan, Johnny menyarankan, dalam rangka memperkuat industri manufaktur nasional yang daya saing industri, maka ada beberapa solusi yang dapat diimplementasikan antara pemerintah dan swasta, yakni :

- Konsisten terhadap hilirisasi industri berbasis sumber daya alam yang dapat menghasilkan nilai tambah, memperkuat struktur industri, serta menyediakan lapangan kerja dan meningkatkan daya saing global

- Fokus kepada kebijakan industri yang berorientasi ekspor

- Menurunkan harga gas bumi sebagai bahan baku untuk industri

- Menyediakan energi dalam jumlah yang memadai dan harga yang bersaing sebagai bahan baku maupun bahan bakar dalam proses produksi.

- Memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha untuk membangun industri bahan baku dan bahan penolong substitusi impor karena membutuhkan investasi yang sangat besar.

(Fik/Gdn)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya