Liputan6.com, Washington - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve mempertahankan suku bunga namun memberikan sinyal masih akan mengetatkan kebijakan moneter pada akhir tahun 2016. Hal itu asal didukung data tenaga kerja yang membaik.
Pimpinan the Fed Janet Yellen menuturkan, pertumbuhan AS kelihatan kuat dan kenaikan bunga membutuhkan ekonomi yang kuat. Ini untuk menjaga ekonomi dari overheating atau kemampuan menghasilkan barang dan jasa tidak secepat peningkatan tingkat konsumsi dan memicu inflasi tinggi.
"Kami menilai untuk meningkatkan suku bunga makin kuat, tetapi memutuskan untuk menunggu. Meski ekonomi memiliki sedikit ruang untuk menjalankannya," ujar Yellen seperti dikutip dari laman Reuters, Kamis (22/9/2016).
Yellen mengharapkan, kembali kenaikan suku bunga pada tahun ini jika jumlah tenaga kerja meningkat dan risiko baru yang besar tidak muncul.
Baca Juga
The Federal Reserve pun mempertahankan suku bunga di kisaran 0,25-0,50 persen untuk pinjaman antar bank. Sebelumnya the Federal Reserve telah menaikkan suku bunga pada Desember untuk pertama kali dalam hampir satu dekade.
The Fed juga memprediksi kenaikan suku bunga menjadi kurang agresif pada 2017, dan 2018.
Investor pun tampaknya tidak signifikan menggeser taruhannya untuk kenaikan suku bunga. Investor melihat peluang kenaikan suku bunga dilakukan pada Desember 2016.
"Sementara the Federal Reserve menahan suku bunga. Dengan dilema yang sangat tidak biasa, membuat kemungkinan kenaikan suku bunga dilakukan pada Desember," ujar Mohamed El-Erian, Ekonom Allianz.
Selain itu, bank sentral AS dinilai lebih percaya diri dalam pertemuan bank sentral pada Rabu pekan ini. Seiring risiko jangka pendek ekonomi kini seimbang.
Ada pun keputusan the Fed ini juga bersamaan dengan keputusan bank sentral Jepang yang menargetkan kenaikan suku bunga dalam program pembelian aset lebih besar.
The Federal Reserve mengisyaratkan kalau kenaikan suku bunga terjadi empat kali pada Desember 2016. Akan tetapi itu rencana kenaikan suku bunga sebanyak empat kali kembali dipertimbangkan seiring pertumbuhan ekonomi global, volatilitas pasar keuangan dan kekhawatiran inflasi AS. (Ahm/Ndw)
Advertisement