Liputan6.com, Jakarta Wajib pajak (WP) yang ingin melakukan repatriasi aset terkait Program Pengampunan Pajak (tax amnesty) tak perlu khawatir menanggung selisih kurs. Sebab acuan kurs yang digunakan dalam repatriasi aset menggunakan kondisi terkini.
Direktur Pelayanan dan Penyuluhan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Hestu Yoga Saksama menerangkan, kurs yang ditetapkan dalam tax amnesty hanya untuk pembayaran tebusan.
"Jadi kan di dalam surat penyertaan harta (SPH)-nya mereka sudah menyatakan, dan di lampiran SPH itu berapa valasnya yang kemudian harus dikurskan dengan kurs per 31 Desember 2015. Itu hanya untuk tujuan pembayaran uang tebusan tetapi kalau realisasi repatriasinya yaitu menyesuaikan kurs yang ada pada saat realisasi," jelas dia di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta, Kamis (17/11/2016).
Baca Juga
Dia mencontohkan, misalnya dalam SPH, wajib pajak melampirkan kekayaan sebesar US$ 1 juta. Dengan mengacu kurs yang dipatok dalam tax amnesty, harta tersebut mencapai senilai Rp 136 miliar. Angka ini yang kemudian dikalikan dengan tarif tebusan tax amnesty.
"Contohnya US$ 1 juta pada saat SPH di lampirannya dituliskan US$ 1 juta sama dengan Rp 136 miliar, itu untuk membayar uang tebusan 2 persen waktu itu," kata dia.
Namun bila mengacu pada saat ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar menguat di kisaran Rp 13.300 per dolar AS maka besar kekayaan US$ 1 juta berkurang menjadi Rp 133 miliar. Terkait pengurangan ini, wajib pajak tak perlu menambah akibat selisih kurs tersebut.
"Jadi tidak ada masalah bahwa ketika mereka merealisasi repatriasinya sekarang, yang muncul angkanya itu di rekening khusus itu Rp 133 miliar. Mereka tidak harus menambah Rp 3 miliar lagi untuk menjadi sama dengan pada saat SPH, jadi aman saja tidak perlu top up," ungkap dia.
Sebelumnya, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (Bank BCA) Jahja Setiaatmadja menerangkan, dalam tax amnesty nilai tukar rupiah yang dipatok ialah Rp 13.640 per dolar AS. Namun, kondisi saat ini nilai tukar cenderung menguat ke Rp 13.000 per dolar AS.
Jahja melanjutkan, kondisi ini menjadi kendala masyarakat yang ingin menarik uangnya atau repatriasi ke Indonesia. Pasalnya, terdapat selisih antara nilai tukar yang telah dipatok dalam ketentuan tax amnesty dengan kondisi saat ini.
"Jadi kalau ikut Undang-undang tax amnesty, kurs dolar sudah ditentukan Rp 13.640. Nah jadi pada saat ini kurs dolar berkisar Rp 13.000-an. Jadi ada selisih yang cukup material. Nah ini menjadi pertanyaan mereka yang ikut tax amnesty. Karena kalau membawa dolar to dolar asumsinya nggak akan terkena pinalti toh dolarnya sama," kata dia.
Dia mengatakan, masalah tersebut menjadi hal yang dilematis. Pasalnya, masyarakat yang ingin repatriasi berarti menanggung beban dari selisih itu.
"Tetapi dolar mau dirupiahkan, nah ini terjadi suatu dilematis bahwa dalam perhitungan Rp 13.640 di rekening khusus, yang dipertanggungjawabkan penggunaannya dan dikunci 3 tahun tidak boleh keluar. Tetapi kurs yang diperoleh perbankan adalah kurs pasar. Jadi ada selisih harus tanda petik nombok," tandas dia.(Amd/Nrm)
Advertisement