Liputan6.com, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan tidak ingin ada lagi subsidi listrik untuk Energi Baru Terbarukan (EBT). Oleh karena itu, Jonan ingin agar pengembang pembangkit listrik energi baru terbarukan harus memberikan tarif listrik yang kompetitif.
Jonan mengatakan, ‎beberapa negara lain mampu menciptakan tarif listrik yang murah. Oleh karena itu, para pengembang listrik di Indonesia juga harus bisa menciptakan tarif yang murah. Jonan mengharuskan pengusaha untuk memproduksi listrik dari EBT dengah harga murah.
Ia melanjutkan, saat ini Kementerian ESDM sedang menyusun tim khusus. Tim tersebut akan merumuskan harga listrik dari pembangkit EBT.
Advertisement
"Untuk membuat listrik murah, bagaimana caranya, tanyakan ke pengusahanya. Apa saya yang harus mengajarkan?" kata Jonan, di dalam diskusi akhir tahun EBTKE, di kawasan Kuningan Jakarta, Rabu (21/12/2016).
Baca Juga
Jonan melanjutkan, Kementerian ESDM tidak ingin lagi memberikan subsidi untuk pembangkit listrik yang berasal dari Energi Baru Terbarukan. Oleh karena itu produsen listrik harus menekan harga listrik yang dijual ke PLN, agar bisa bersaing dengan listrik dari sumber energi lain.
"Tidak usah subsidi lagi. Cari harga yang paling kompetitif saja," ucap Jonan.
Ia pun kemudian bercerita, di Uni Emirat Arab harga listrik dari pembangkit Energi Baru Terbarukan  sangat murah, karena itu tarif listrik EBT Indonesia juga harus bisa murah. Hal ini untuk mendorong agar harga listrik dari pembangkit EBT bisa lebih efisien.
"di Timur Tengah bisa rendah lagi. Kalau tanah ya cari yang murah. Bangun di atas laut juga bisa. Saya kira insentif itu tidak perlu, di persatuan uni Emirat harganya rendah. Sampai ada yang 5 sen," terang Jonan.
‎Jonan mengungkapkan, saat hadir dalam sidang negara eksportir minyak‎ (OPEC) di Wina Austria beberapa minggu lalu, dia berbicara dengan Menteri Energi Uni Emirat Arab, negara tersebut memiliki lifting minyak 3 juta barel.
Sementara, lanjutnya, konsumsi minyak di Uni Emirat Arab hanya 5 persen atau 150 ribu barel, tetapi mengunakan EBT yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 150 MW dengan tarif US$ 2,29 sen per Kilo Watt hour (kWh) dan 200 MW dengan tarif US$ 2,24 sen per kWh.
Hal tersebut membuat Jonan kaget, karena jika dibanding di Indonesia, tarifnya masih jauh lebih tinggi yaitu US$ 14 sen per kWh sampai US$ 25 sen per kWh. Karena itu, dia ingin harga EBT bisa murah seperti di Uni Emirat Arab. ‎"Saya kaget kenapa harganya bisa murah, apa matahari di sana berbeda?" tutup Jonan. (Pew/Gdn)