Liputan6.com, Jakarta - Tak banyak orang yang memiliki jiwa dermawan tinggi layaknya miliarder satu ini. Charles 'Chuck' Feeney merupakan miliarder keturunan Irlandia-Amerika yang mendapat sebagian besar kekayaannya lewat konsep Duty Free Shopping temuannya yang kini menjadi bisnis besar.
Tapi alih-alih menggunakan kekayaannya untuk kepentingan pribadi, Feeney justru memberikan sebagian besar harta yang dimiliki untuk keperluan amal.
Advertisement
Lebih dari lima tahun yang lalu, Feeney pernah berjanji bahwa di akhir tahun 2016 ia akan memberikan harta terakhirnya untuk keperluan amal. Sejak saat itu, Feeney terus ikut dalam acara filantropi hingga pada Desember lalu ia memberikan hibah US$ 7 juta terakhirnya kepada Cornell University untuk membantu mahasiswa melakukan riset.
Advertisement
Baca Juga
Akibat memberikan amal dalam jumlah besar, Feeney kini harus hidup dalam konsisi serba sederhana. Ia dan istrinya bahkan tinggal di apartemen kontrakan dan menjalani hidup layaknya orang pada umumnya.
"Saya hanya punya satu pasang celana yang bisa dipakai dalam seminggu," tuturnya dilansir dari Stuff.co.nz, Kamis (12/1/2017).
Hingga usia menginjak 85 tahun, Feeney terbiasa untuk bepergian dengan pesawat kelas ekonomi. Beberapa temannya bahkan sering melihat Feeney membawa barang keperluan memakai kantong plastik.
Kekayaan yang dimilikinya juga tidak dirasakan keturunannya. Anak Feeney harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pelayan dan kasir agar bisa kuliah walaupun mereka memiliki warisan besar lewat perusahaan Duty Free Shopping.
"Orang yang memiliki uang banyak mempunyai kewajiban. Saya tidak mengatakan saya berhak memberitahu mereka apa yang harus dilakukan dengan itu tetapi mereka harus menggunakannya dengan bijak," ungkap Feeney.
Kecanduan Feeney untuk memberi amal dimulai sejak 1981, dimana ia menghibahkan US$ 700 ribu pada almamaternya Cornell University. Kemurahan hatinya baru terkuak ke khalayak umum pada 1997. Dia selalu menjaga kerahasiaan sumbangannya karena tidak ingin mendapat perhatian.
Ia kemudian mendirikan The Atlantic Philanthropies, sebuah yayasan amal di Bermuda. Organisasi tersebut memfokuskan diri untuk memberi bantuan pada isu-isu kesehatan, pendidikan anak-anak dan remaja hingga hak asasi manusia.
"Saya menjadi yakin bahwa ada kepuasan yang lebih besar dari memberikan uang saya dan berhasil membangun sesuatu seperti rumah sakit atau universitas. Itu tampak lebih logis menempatkan uang untuk digunakan bagi hal baik daripada memasukkannya ke dalam rekening bank dan membiarkannya menumpuk dan menumpuk," jelas dia dalam wawacara dengan Financial Times.