Aturan Baru Ekspor Mineral Bakal Digugat

Koalisi Masyarakat Sipil pada pekan depan akan mengajukan uji materiil Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017 ke Mahkamah Agung (MA).

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 13 Jan 2017, 16:45 WIB
Diterbitkan 13 Jan 2017, 16:45 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri akan digugat. Gugatan tersebut diajukan karena aturan baru tersebut dinilai menyalahi konstitusi.

Gugatan tersebut diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil pada pekan depan ke Mahkamah Agung (MA). Saat ini, Koalisi Masyarakat Sipil sedang menyusun naskah gugatan uji materil. "Sedang dalam tahap penyusunan naskah gugatan uji materil‎, Insya Allah pekan depan gugatan diajukan," kata perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, Ahmad Redi, ‎di Jakarta, Jumat (13/1/2017).

Rencana pengajuan gugatan tersebut‎ dilatarbelakangi oleh adanya aturan yang memberikan perpanjangan izin ekspor bauksit dan nikel mentah. Kebijakan ini dinilai tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun2009, tentang Mineral dan Batubara (Minerba) dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10 PUU-VII/2014 atas gugatan terhadap UU Minerba tersebut.

"Kami akan fokus ke relaksasi nikel dan bauksit karena bertentangan dengan putusan MK,"‎ ungkapnya.

Ahmad melanjutkan, latarbelakang lain yang mendorong diajukannya uji materiil tersebut adalah perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang dinilai cacat hukum.

Alasannya, dalam Undang-Undang Minerba untuk mengubaj status harus melalui proses menjadi Wilayah Pencadangan Negara (WPN) kemudian diubah menjadi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Selain itu ditawarkan ke BUMN. Apabila BUMN tidak berminat maka ditawarkan ke badan usaha swasta secara lelang untuk mendapatkan IUPK.

‎Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot mengatakan, ‎nikel yang boleh diekspor mentah kadarnya harus kurang dari 1,7 persen. Sedangkan untuk bauksit harus dari hasil pencucian (washed bauxite)‎.

Ketetapan tersebut telah tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Di Dalam Negeri.

"Pada pasal 10 dinyatakan Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi ( IUPK OP) Nikel yang melakukan pengolahan dan pemurnian nikel wajib memanfaatkan nikel dengan kadar kurang dari 1,7 persen sekurang-kurangnya 30 persen dari total kapasitas input fasilitas smelter yang dimiliki," kata Bambang, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (12/1/2017).

Setelah hal tersebut terpenuhi maka dapat melakukan penjualan nikel kadar kurang dari 1,7 persen ke luar negeri dalam jumlah tertentu paling lama lima tahun sejak Peraturan Menteri ini berlaku.

Ketentuan penyerapan nikel tersebut tidak berlaku bagi bauksit. Dalam aturan itu disebutkan pemegang izin bauksit yang membangun smelter dapat melakukan penjualan bauksit yang sudah dilakukan pencucian dengan kadar Al2O3 lebih atau sama dengan 42 persen. (Pew/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya