Liputan6.com, Jakarta Indonesia mencatatkan penurunan rasio utang sejak era pemerintahan beberapa presiden. Ini mulai dari Presiden Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan terakhir pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Jadi sebenarnya berapa rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari tahun ke tahun?
Berdasarkan data yang dikompilasi dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Senin (13/2/2017), melongok perkembangan utang dan rasio utang pemerintah pusat dari masa ke masa, puncaknya ada di 1998, ketika krisis moneter menghantam Indonesia.
Advertisement
Baca Juga
Saat itu, Presiden ke-2 Soeharto yang lengser di Mei 1998 meninggalkan utang Rp 551,4 triliun atau ekuivalen US$ 68,7 miliar. Saat itu, rasio utang mencapai 57,7 persen terhadap PDB.
Pemerintahan selanjutnya yang dipimpin BJ Habibie (1998-1999). Di periode 1999, total outstanding utang Indonesia mencapai Rp 938,8 triliun atau setara dengan US$ 132,2 miliar. Rasio utang membengkak jadi 85,4 persen dari PDB.
Tampuk kepemimpinan berikutnya beralih ke tangan Gus Dur (1999-2001). Nilai utang pemerintah membumbung tinggi di periode 2000 menjadi Rp 1.232,8 triliun, namun dalam denominasi dolar AS, jumlahnya turun menjadi US$ 129,3 miliar. Ketika itu, rasio utang makin parah menjadi 88,7 persen.
Kemudian di 2001, rasio utang turun menjadi 77,2 persen. Hanya saja, nilai outstanding utang naik tipis menjadi Rp 1.271,4 triliun atau US$ 122,3 miliar.
Gus Dur mundur dari kursi kepresidenan pada 2001 dan digantikan Megawati Soekarnoputri (2001-2004). Pada era pemerintahan anak dari Presiden ke-1 Soekarno itu, posisi utang Indonesia dan rasio utang terhadap PDB, meliputi:
2002: Rp 1.223,7 triliun atau US$ 136,9 miliar, rasio utang 67,2 persen
2003: Rp 1.230,6 triliun atau US$ 145,4 miliar dan rasio utang 61,1 persen
2004: Rp 1.298 triliun atau US$ 139,7 miliar, rasio utang 56,5 persen
Estafet kepemimpinan Republik Indonesia selanjutnya diserahkan kepada
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY berkuasa selama dua periode, yakni
periode I (2004-2009) dan periode II (2009-2014).
Di masa pemerintahan SBY, rasio utang dan nilai utang Indonesia mencapai:
2005: Rp 1.311,7 triliun atau US$ 133,4 miliar, rasio utang 47,3 persen
2006: Rp 1.302,2 triliun atau US$ 144,4 miliar dengan rasio utang 39 persen
2007: Rp 1.389,4 triliun atau Rp 147,5 miliar, rasio utang 35,2 persen
2008: Rp 1.636,7 triliun atau Rp 149,5 miliar, rasio utang 33 persen
2009: Rp 1.590,7 triliun atau US$ 169,2 miliar, rasio utang 28,3 persen
2010: Rp 1.681,7 triliun atau US$ 187 miliar, rasio utang 24,5 persen
2011: Rp 1.809 triliun atau US$ 199,5 miliar, rasio utang 23,1 persen
2012: Rp 1.977,7 triliun atau US$ 204,5 miliar, rasio utang 23 persen
2013: Rp 2.375,5 triliun atau US$ 194,9 miliar, rasio utang 24,9 persen
2014: Rp 2.608,8 triliun atau US$ 209,7 miliar, rasio utang 24,7 persen.
Melalui pemilihan umum (pemilu) berikutnya, Jokowi naik tahta sebagai Presiden ke-7 (2014-2019) menggantikan SBY.
Di akhir 2015, utang pemerintah pusat naik menjadi Rp 3.165,2 triliun atau US$ 229,44 miliar. Rasio utang terhadap PDB meningkat menjadi 27,4 persen.
Total outstanding utang pemerintah sepanjang 2016 tercatat naik lagi menjadi Rp 3.466,9 triliun atau setara dengan US$ 258,04 miliar. Rasio utang 27,5 persen dari PDB.
Jika dilihat sejarah utang dari era orde baru sampai saat ini, meskipun secara nilai utang naik, akan tetapi rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB masih jauh dari batas maksimal yang ditetapkan dalam Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar 60 persen terhadap PDB.(Fik/Nrm)