Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan berharap PT Freeport Indonesia (PTFI) tidak alergi dengan adanya ketentuan divestasi hingga 51% yang tercantum dalam perjanjian Kontrak Karya yang pertama antara PTFI dan Pemerintah Indonesia, dan juga tercantum dengan tegas dalam PP No 1/2017.
"Memang ada perubahan ketentuan divestasi di dalam Kontrak Karya yang terjadi di tahun 1991, yaitu menjadi 30% karena alasan pertambangan bawah tanah. Namun, divestasi 51% adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan oleh Bapak Presiden," ujar Jonan dalam keterangan rilisnya, Rabu (23/2).
Baca Juga
Jonan juga berharap agar Freeport dapat bermitra dengan Pemerintah sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta rakyat Papua khususnya, juga ikut menikmati sebagai PEMILIK tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia.
Advertisement
Terkait wacana Freeport membawa persoalan perjanjian kontrak karya ke arbitrase, menurut Jonan itu adalah hak Freeport untuk menggunakan langkah hukum.
Namun, Jonan berharap pemerintah tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum, karena apa pun hasilnya dampak yang ditimbulkan akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan.
"Arbitrase itu langkah yang jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan Pemerintah,
Jonan berkeyakinan bahwa korporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga dan bukan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata.
Jika Freeport menolak perubahan dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), maka PT Amman Mineral Nusa Tenggara menyatakan terima kasih atas persetujuan Pemerintah mengubah perjanjian Kontrak Karya menjadi IUPK.
PT AMNT telah mengajukan permohonan rekomendasi ekspor No 251/PD-RM/AMNT/II/2017 disertai pernyataan komitmen membangun smelter. Atas dasar itu Dirjen Minerba telah menerbitkan rekomendasi ekspor No 353/30/DJB/2017 pada Jumat 17 Februari 2017.
Menteri ESDM, Ignasius Jonan menegaskan bahwa pemerintah telah dan akan terus berupaya maksimal mendukung semua investasi di Indonesia baik investasi asing maupun investasi dalam negeri tanpa terkecuali.
"Dalam hal pertambangan mineral logam, Pemerintah tetap berpegangan pada UU Mineral dan Batubara No 4/2009 dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No 1/2017 sebagai revisi dan tindak lanjut semua peraturan yang telah terbit sebelumnya," ujarnya.
Dengan mengacu dan berpegang pada UU dan Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah TETAP Menghormati semua isi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dan masih sah berlaku.
Jonan mengatakan atas dasar itu semua pemegang Kontrak Karya dapat melanjutkan usahanya seperti sedia kala dan TIDAK wajib mengubah perjanjian menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sepanjang pemegang Kontrak Karya tersebut melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) dalam jangka waktu 5 tahun sejak UU Minerba 4/2009 diundangkan (Pasal 169 dan pasal 170 UU No 4/2009).
"Dengan fakta bahwa pemegang Kontrak Karya (KK) belum melakukan hilirisasi sebagaimana dimaksud dalam UU Minerba tersebut, maka Pemerintah menawarkan kepada semua pemegang Kontrak Karya yang belum melakukan hilirisasi (membangun smelter) untuk mengubah Kontrak Karya menjadi IUPK," jelasnya.
Dengan demikian sesuai Pasal 102-103 UU No 4/2009, mereka akan tetap mendapat izin melakukan ekspor konsentrat dalam jangka waktu 5 tahun sejak PP No 1/2017 diterbitkan.
"Namun mereka tetap diwajibkan membangun smelter dalam jangka waktu 5 tahun. Progres pembangunan smelter akan diverifikasi oleh verifikator independen setiap 6 bulan. Jika progres tidak mencapai minimal 90% dari rencana maka rekomendasi ekspor akan dicabut," tambahnya.
Powered By:
Kementerian ESDM