Permen ESDM No. 12 Tahun 2017 Jadi Solusi Tekan Harga Listrik EBT

Tekan harga listrik EBT melalui Permen ESDM menjadi strategi kebijakan yang tepat yang dikeluarkan oleh Menteri ESDM, Ignasius Jonan.

oleh Liputan6 diperbarui 12 Mar 2017, 12:34 WIB
Diterbitkan 12 Mar 2017, 12:34 WIB
Permen ESDM No. 12 Tahun 2017 Jadi Solusi Tekan Harga Listrik EBT
Tekan harga listrik EBT melalui Permen ESDM menjadi strategi kebijakan yang tepat yang dikeluarkan oleh Menteri ESDM, Ignasius Jonan.

Liputan6.com, Jakarta Langkah Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM), Ignasius Jonan, yang telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 12 Tahun 2017 dinilai sebagai kebijakan yang tepat. Mengingat hal ini sejalan dengan tren pasar global atas harga listrik bersumber Energi Baru Terbarukan (EBT) yang kian kompetitif.

"Berdasarkan Badan Energi Baru Terbarukan Internasional (IRENA), misalnya harga listrik berbasis Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTA) di Meksiko, Mesir, Chili dan Maroko berkisar sekitar 4.0 sen per kWh. Sementara di negara maju, seperti Inggirs, Italia, Australia, dan Kanda di atas 6.0 sen per kWh," tulis jurnalis India, Saurabh Mahabarata, dalam laporannya di salah satu media India, Cleantechies.

Di India, lanjut Saurabh, hingga saat ini harga listrik berbasis EBT makin kompetitif. Dalam proses lelang proyek PLTA yang digelar kali pertama oleh India, para investor India bisa memangkas tarif listrik hingga 5.2 sen per kWh. "Tarif yang ditawarkan lebih rendah daripada feed in tariff yang ditawarkan oleh negara bagian lain di India," tandasnya.

Kondisi makin kompetitif harga EBT diakui oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Jarman. Ia mencontohkan harga listrik berbasis surya di Kamboja sebesar USD 9 sen per kWh jauh lebih murah dibanding di Indonesia, yakni USD 15 sen per kWh. "PLTS berkapasitas 10 MW dibangun oleh Kamboja di darerah perbatasan Vietnam. Lokasinya terpencil, infrastrukturnya belum begitu bagus. Tapi listrik dari PLTS tetap bisa murah. Saya kaget. Masak Kambjoa bisa, kita enggak bisa?" ungkapnya saat itu (3/2).

Jarman mengutarakan bahwa terbitnya regulasi tersebut sebagai jawaban atas penetapan patokan harga maksimum untuk listrik berbasis surya fotovoltaik, bayu, air, biomassa, biogas. Biaya pembelian listrik tersebut paling tinggi 85% dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP) di daerah tempat pembangkit listrik beroperasi.

Dalam hal BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat sama atau di bawah rata-rata BPP Pembangkitan Nasional, maka harga pembelian tenaga listriknya sebesar sama dengan BPP Pembangkitan setempat.

Sedangkan pembelian tenaga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Kota (PLTSa) paling tinggi sebesar 100% dari BPP Pembangkitan setempat. Apabila BPP setempat sama atau dibawah BPP Nasional, maka harga pembelian tenaga listriknya dilakukan secara business to business antara PT. PLN dengan investor atau biasa disebut Independent Power Producer (IPP).

Utamakan Kemampuan Daya Beli

Menteri ESDM dalam beberapa kesempatan menegaskan akan kemampuan daya beli masyarakat untuk mendapatkan akses listrik menjadi prioritas utama. Menurutnya, terbitnya Permen ESDM 12/2017 ini akan mendorong para pengembang EBT menciptakan teknologi baru sehingga tercapainya efisensi.

"Apakah bauran energi atau affordability yang diutamakan? Ada 2.500 desa yang penting ada lampu dulu, ada 10.000 desa yang listriknya at the very minimal level. Kalau 3-4 tahun lagi kabel listrik lewat depan rumahnya, terus dia enggak mampu beli, saya kira rasa keadilannya bagaimana? Ini jadi persoalan," ujar Jonan di acara Dialog Energi bertema Strategi Pencapaian Energi Baru Terbarukan (EBT) Dewan Energi Nasional, Kamis (2/3).

Di sisi lain, Jonan menyinggung soal perbedaan pendapatan masyarakat sebagai tantangan di bawah kepemimpinannya dalam melistriki seluruh wilayah Indonesia. “Disparitas pendapatan di negara kita merupakan tantangan dalam penyediaan listrik, masih banyak saudara-saudara kita yang kemampuan daya belinya dibawah rata-rata. Tantangan mengenai disparitas penghasilan atau affordability disparity, perbedaaan kemampuan atau daya beli menjadi tantangan yang besar,” tambah Jonan.

Senada dengan Menteri ESDM, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimy optimis akan kemampuan Pemerintah sebagai regulator dalam memfasilitasi agar kebijakan di subsektor EBTKE bisa diimplementasikan. "Meskipun memiliki tantangan, namun tantangan penerapan kebijakan ini hanya sampai tahun 2030, karena setelah itu harga energi terbarukan akan lebih murah dari energi fosil. Yang terpenting dari semua itu adalah Permen 12 Tahun 2017 ini akan mampu melakukan pemerataan dalam pembangunan listrik nasional”, pungkasnya. 

Powered By:

Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya