Heboh Teror Order Fiktif Go-Food, Ini Kata Ahli Fintech

Tidak masuk akal seseorang melakukan pemesanan makanan berkali-kali dengan cepat dalam waktu dan ke satu lokasi yang sama.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 09 Jul 2017, 17:00 WIB
Diterbitkan 09 Jul 2017, 17:00 WIB
Tidak masuk akal seseorang melakukan pemesanan makanan berkali-kali dengan cepat dalam waktu dan ke satu lokasi yang sama.
Tidak masuk akal seseorang melakukan pemesanan makanan berkali-kali dengan cepat dalam waktu dan ke satu lokasi yang sama.

Liputan6.com, Jakarta - Laporan order fiktif Go-Food atas nama korban Julianto Sudrajat dan Ahmad Maulana yang diduga karena kasus asmara, semakin ramai diperbincangkan warganet di media sosial. Sebenarnya mengapa hal ini bisa terjadi, dan adakah dampak ekonomi atas fraud (kejahatan) di sistem aplikasi pemesanan makanan secara online tersebut?

Dewan Pengawas Asosiasi Fintech Indonesia, Izak Jenie menjelaskan, jenis fraud seperti di Go-Food ini biasa disebut social fraud. Pengertiannya, seseorang melakukan kejahatan bukan dari karena alasan teknis, melainkan karena kegiatan sosial.

"Dalam sistem keuangan, kasus seperti ini biasanya ditangani secara teknis dengan melakukan 'velocity checking' atau pengecekan terhadap kecepatan transaksi," kata Izak saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (9/7/2017).

Lebih jauh Izak menilai, tidak masuk akal seseorang melakukan pemesanan makanan berkali-kali dengan cepat dalam waktu dan ke satu lokasi yang sama. Dengan velocity checking ini, pihak Go-Jek dapat mendeteksi, mengetahui, dan mencegah adanya potensi kejahatan yang datang dari pesanan bertubi-tubi tersebut.

"Secara teknis di IT bisa dicek. Kalau seseorang melakukan transaksi 10 kali dalam waktu 30 menit atau pesan makanan berulang kali dalam waktu sehari ke tempat yang sama, biasanya sistem langsung raise alarm bahwa ada kemungkinan fraud," jelasnya.

"Bukan berarti di blok, tapi di follow-up ke konsumen dengan cara menghubunginya untuk menanyakan transaksi tersebut. Jadi harus diimplementasikan velocity checking yang baik di analisa transaksi," tambah Izak.

Menurutnya, seluruh perbankan sudah menerapkan velocity checking sebagai bagian dari sistem analisis kejahatan. Sementara pada Go-Jek, Izak memperkirakan velocity checking pun sudah dijalankan.

"Tapi mungkin di Go-Food karena kasusnya masih baru, jadi belum dimasukkan parameternya. Secara teknis keuangan di fintech, jenis transaksi seperti ini biasanya sudah terdeteksi oleh velocity checking sehingga tidak menjadi masalah besar," ucap Izak.

Dampak kejahatan pada sistem keuangan selalu ada. Namun tergantung pada masing-masing kasusnya. "Dampak ekonomi dari fraud selalu ada, tergantung masing-masing kasus. Kalau dalam kasus Go-Food ini kan tidak terjadi dampak ekonomi, karena memang ada yang melakukan pembayaran," tegasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, sejumlah driver Go-Jek mendapatkan order makanan sejak beberapa hari lalu yang mengatasnamakan Julianto sebagai pemesan. Selain Go-Food, pelaku juga memesan Go-Box atas nama Julianto. Padahal, Julianto sama sekali tidak pernah memesannya.

Teror order Go-Food ini mulai terjadi saat ia masih bekerja di kantornya di kawasan Matraman, Jakarta. Bahkan saking banyaknya order fiktif yang ditujukan ke kantor, teman-teman Julianto turut membantu membayar tagihan karena merasa kasihan dengan para driver.

Selanjutnya ada Petugas Penanganan Sarana dan Prasarana Umum (PPSU) atau Pasukan Oranye DKI Jakarta bernama Ahmad Maulana, mengaku diteror order fiktif makanan via ojek online. Setelah ditelusuri, Ahmad menduga pelakunya adalah mantan pacarnya berinisal A.

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya