Liputan6.com, Jakarta - Pergerakan mata uang rupiah saat ini berpotensi terguncang oleh berbagai sentimen yang datang dari luar negeri, mulai dari kenaikan suku bunga The Federal Reserve (The Fed), kebijakan fiskal Amerika Serikat (AS), persoalan utang Yunani, sampai peningkatan kredit macet (Non Performing Loan/NPL) di Italia.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo menyebut, rata-rata kurs rupiah saat ini berada pada rentang Rp 13.350-Rp 13.400 per dolar AS. Angka tersebut masih berada dalam kisaran pemerintah dalam outlook di tahun ini sekitar Rp 13.300 hingga Rp 13.600 per dolar AS.
Dari datanya, per 7 Juli 2017, kurs rupiah menguat 0,52 persen sebesar Rp 13.402 per dolar AS saat mata uang Turki, Filipina, dan Brasil mengalami pelemahan. Penguatan ini seiring dengan perolehan rating layak investasi atau investment grade dari Standard and Poors, data makro ekonomi Indonesia yang positif.
Advertisement
Baca Juga
"Kalau melihat rata-rata kurs Rp 13.350-Rp 13.400 per dolar AS, ini kondisi ekonomi membaik dan terjaga stabil, tapi kondisi di luar negeri khususnya di AS perlu mendapat perhatian," ujar Agus saat Raker Asumsi Dasar Makro RAPBN-P 2017 dengan Komisi XI di DPR, Jakarta, Senin (10/7/2017).
Agus menjelaskan, kondisi di luar negeri yang perlu diwaspadai karena akan berpengaruh terhadap pergerakan mata uang Garuda, yakni tren kenaikan tingkat bunga The Fed yang saat ini sudah berada di kisaran 1 persen-1,25 persen. Sementara selama 7 tahun, suku bunga Fed Fund Rate bertahan di level 0,25 persen.
Lebih jauh, kata Agus, masih akan ada satu kali kenaikan suku bunga The Fed di sepanjang 2017. Ditambah lagi dengan rencana AS untuk menurunkan size balancesheet dari US$ 4,5 triliun. Sebelumnya posisi balancesheet The Fed hanya US$ 800 miliar.
"Jadi kita masih menunggu kepastian dari kebijakan fiskal di AS karena ini yang banyak sekali menciptakan volatilitas di pasar keuangan dunia," papar Mantan Menteri Keuangan itu.
Kekhawatiran lain yang akan berpengaruh terhadap laju rupiah, Agus mengakui, kondisi geopolitik di Timur Tengah dan di Semenanjung Korea. Selain itu menyangkut keraguan pelaku pasar atas risiko utang Yunani yang jatuh tempo di Juli ini.
"Belum ada kepastian perpanjangan utang Yunani menjadi perhatian. Ada sih sedikit kepastian, tapi kita tetap menunggu karena jatuh waktu utang di Juli ini," ucap dia.
Agus menambahkan, faktor lain yang berpotensi memberi tekanan ke rupiah, yakni meningkatnya kredit bermasalah di Italia, dan ketidakpastian atas hasil pemilihan umum di Inggris. "Tidak ada satu partai memiliki dominan di hasil pemilu Inggris. Ini yang menimbulkan ketidakpastian," ujar dia.
Â
Â
Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:
Â
Â